BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan pelayanan dan
pendidikan kebidanan nasional maupun internasional terjadi begitu cepat. Hal
ini menunjukkan bahwa perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan merupakan
hal yang penting untuk dipelajari dan dipahami oleh petugas kesehatan khususnya
bidan yang bertugas sebagai bidan pendidik maupun bidan di pelayanan.
Salah satu faktor yang
menyebabkan terus berkembangnya pelayanan dan pendidikan kebidanan adalah masih
tingginya mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin, khususnya
di negara berkembang dan di negara miskin yaitu sekitar 25-50%.
Mengingat hal diatas, maka
penting bagi bidan untuk mengetahui sejarah perkembangan pelayanan dan
pendidikan kebidanan karena bidan sebagai tenaga terdepan dan utama dalam
pelayanan kesehatan ibu dan bayi diberbagai catatan pelayanan wajib mengikuti
perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal
atau non formal dan bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik
melalui pendidikan maupun pelatihan serta meningkatkan jenjang karir dan
jabatan yang sesuai.
B.
Masalah
Dari latar berlakang yang telah dikemukakan di tas
maka rumusan masalah pada makalah ini adalah Bagaimanakah sejarah perkembangan dan
pelayanan kebidanan?
C.
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah
ini adalah untuk mendeskripsikan sejarah perkembangan dan pelayanan kebidanan.
D.
Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai yaitu penulis dan
pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah perkembangan
dan pelayanan kebidanan.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan Pelayanan Kebidanan
di Indonesia
Pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga
penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807, di masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Hendrik William Daendles, para dukun dilatih untuk melakukan
pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak
tersedianya pelatih kebidanan.
Pelayanan
kesehatan pada saat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada
di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa di
Batavia, tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang dikenal dengan
RSPAD Gatot Subroto. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada
tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang
dokter militer Belanda bernama dr. W. Bosch. Lulusan sekolah ini kemudian
bekerja di rumah sakit dan juga di masyarakat. Mulai saat itu pelayanan
kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun
1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan
kualitas pertolongan persalinan. Pelatihan untuk para dukun masih berlangsung
sampai sekarang. Pelatihan ini diberikan oleh bidan. Perubahan pengetahuan dan
keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di
masyarakat di lakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah
Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta, yang akhirnya
dilakukan pula di kota-kota besar lainnya di nusantara ini. Seiring dengan
pelatihan tersebut, didirikan pula Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan
bidan sebagai penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang
diberikan mencakup pelayanan antenatal, postnatal, pemeriksaan bayi dan anak,
termasuk imunisasi serta penyuluhan gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan memberi
pertolongan persalinan di rumah keluarga dan melakukan kunjungan rumah sebgai
upaya tindak lanjut pascapersalinan.
Bermula
dari BKIA, kemudian terbentuklah suatu pelayanan terintegrasi bagi masyarakat
yang dinamakan Pusat Kesahatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957.
Puskesmas memberi pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan berorientasi
pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi memberikan
pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, termasuk pelayanan keluarga berencana
baik di luar gedung maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang diberikan
di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos
pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup lima kegiatan
yaitu pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi, dan
kesehatan lingkungan.
Mulai tahun
1990, pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Kebijakan ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres) yang
disampaikan secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992. Kebijakan ini mengenai
perlunya mendidik bidan untuk ditempatkan di desa. Tugas pokok bidan di desa
adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu
hamil, bersalin, dan nifas, serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk
pembinaan dukun bayi (paraji). Sehubungan dengan itu, bidan desa juga menjadi
pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang dilakukan
sejalan dengan tugas utamanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan ibu. Dalam
melaksanakan tugas pokoknya, bidan desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu
dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan Posyandu di wilayah kerjanya,
serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat.
Hal
tersebut di atas adalah bentuk pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa.
Pelayanan bidan di desa berorientasi pada kesehatan masyarakat, sedangkan bidan
yang bekerja di rumah sakit berorientasi pada individu. Tugas bidan di rumah
sakit mencakup pelayanan di poliklinik antenatal, poliklinik keluarga
berencana, ruang perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, dan ruang
nifas. Bidan di rumah sakit juga memberi pelayanan bagi klien yang mengalami
gangguan kesehatan reproduksi, mengajarkan senam hamil, serta memberi
pendidikan perinatal.
Titik tolak
Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada
kesehatan reproduksi (reproductive health),
memperluas area garapan pelayanan bidan, area tersebut meliputi :
- Safe motherhood; termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus.
- Keluarga berencana
- Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
- Kesehatan reproduksi remaja
- Kesehatan reproduksi orang tua
Bidan dalam
melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya didasarkan pada kemampuan serta
kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat serta
kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes
tersebut terdiri atas :
- Permenkes No. 5380/IX/1963 yang menyatakan bahwa wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
- Permenkes No. 363/IX/1980 yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989, menyatakan bahwa wewenang bidan dibagi menjadi dua, yaitu wewenang umum dan khusus. Dalam wewenang khusus ditetapkan bahwa bidan melaksananan tindakan khusus di bawah pengawasan dokter. Hal ini berarti bahwa bidan dalam melaksanakan tugasnya tidak bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan. Berdasarkan Permenkes ini, bidan melaksanakan praktik perorangan di bawah pengawasan dokter.
- Permenkes No. 572/VI/1996 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup :
a. Pelayanan kebidanan yang meliputi
pelayanan ibu dan anak
b. Pelayanan keluarga berencana
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
- Permenkes No. 900.Menkes/SK/VII/2002 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan untuk memberikan pelayanan yang meliputi :
a. Pelayanan kebidanan yang meliputi
pelayanan pranikah, antenatal, intaranatal, postnatal, bayi baru lahir, dan
balita.
b. Pelayanan keluarga berencana yang meliputi
pemberian obat dan alat kontrasepsi melalui oral, suntikan, pemasangan dan
pencabutan AKDR dan AKBK tanpa penyulit.
Dalam
melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan rujukan
sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan, serta kemampuannya. Wewenang bidan
dalam pelayanan kebidanan di bidang keluarga berencana mencakup penyediaan alat
kontrasepsi : oral (pil KB), suntik, kondom, tisu vaginal, alat kontrasepsi
dalam rahim (AKDR), alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK), baik pemasangan maupun
pencabutan. Pada keadaan darurat, bidan juga diberi wewenang untuk memberikan
pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk menyelamatkan jiwa (misalnya: kuretasi
digital untuk mengangkat sisa jaringan pada bayi baru lahir yang mengalami
asfiksia dan hipotermia).
Permenkes
tersebut juga menegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktiknya harus sesuai
dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman, serta berdasarkan standar
profesi. Di samping itu, bidan diwajibkan merujuk kasus-kasu yang tidak dapat
ditangani, menyimpan rahasia, meminta persetujuan untuk tindakan yang akan
dilaksanakan, memberi informasi, serta membuat rekam medis dengan baik.
Petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai kewenangan bidan terdapat pada
petunjuk pelaksanaan (jutlak) yang dituangkan dalam Lampiran Keputusan Dirjen
Binkesmas No. 1506/tahun 1997.
Pencapaian
kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidak mudah, karena kewenangan
yang diberikan oleh Departemen Kesehatan mengandung tuntutan bahwa bidan
sebagai tenaga profesional harus memiliki kemampuan profesi yang mandiri.
Pencapaian kemampuan tersebut diperoleh melalui institusi pelayanan yang
meningkatkan kemampuan bidan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Perkembangan
pelayanan kebidanan menuntut kualitas bidan yang handal dan profesional serta
upaya pemantauan (monitoring) pelayanan. Oleh karena itu, adanya Konsil
Kebidanan adalah suatu keharusan. Pendidikan bidan yang berorientasi pada
profesioanl dan akademik serta memiliki kemampuan melakukan penelitian adalah
suatu terobosan dan syarat utama untuk percepatan penigkatan kualitas pelayanan
kebidanan.
B.
Perkembangan Pendidikan Kebidanan di Dalam
Negeri
Pendidikan
bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan
beriringan untuk memenuhi kebutuhan/tuntutan masyarakat terhadap pelayanan
kebidanan. Pendidikan bidan mencakup pendidikan formal dan nonformal.
Pendidikan
bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851, seorang
dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita
pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya
peserta didik akibat adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk
keluar rumah.
Pendidikan
bidan bagi wanita pribumi dibuka kembali di Rumah Sakit Militer di Batavia pada
tahun 1902. Pada tahun 1904, pendidikan bidan bagi wanita Indonesia juga dibuka
di Makassar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia ditempatkan di mana pun
tenaga mereka dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu
secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih
15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun
1922).
Tahun
1911-1912 dimulai program pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di Rumah
Sakit Umum Pusat Semarang dan Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di
Batavia dengan lama pendidikan selam empat tahun. Calon murid berasal dari
lulusan Holandia Indische School (setingkat SD selama 7 tahun) dan pada awalnya
hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914, peserta didik wanita mulai
diterima untuk mengikuti program pendidikan tersebut. Setelah menyelesaikan
pendidikan tersebut, perawat wanita dapat meneruskan ke pendidikan kebidanan
selama dua tahun, sedangkan perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan
keperawatan lanjutan juga selama dua tahun.
Pada tahun
1935-1938, pemerintah colonial Belanda mulai membuka pendidkan bidan lulusan
Mulo (Setingkat SMP) dan pada waktu yang hampir bersamaan dibuka sekolah bidan
di beberapa kota besar antara lain di Jakarta (RSB Budi Kemuliaan) serta di
Semarang (RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo). Di tahun yang sama dikeluarkan
sebuah peraturan yang mengklasifikasikan lulusan bidan berdasarkan latar
belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikan Mulo dan pendidikan
kebidanan selama tiga tahun disebut Bidan Kelas Satu (Vroedvrouw tweede klas).
Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada
zaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan
dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan
zaman penjajahan Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah
tersebut dan mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan
lain.
Pada tahun
1950-1953, dibuka sekolah bidan untuk lulusan SMP dengan batasan usia minimal
17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk
menolong persalinan cukup banyak maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang
disebut Penjenjang Kesehatan E (PK/E) atau pembantu bidan. Pendidikan ini
dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E
adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian
besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953
dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7
sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960, KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan
dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai
perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat sebelum lulusan
memulai tugasnya sebagai bidan, terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun
1967, KTB ditutup.
Tahun 1954
dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan
perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya, pendidikan ini
berlangsung satu tahun kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang
menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972, institusi pendidikan ini dilebur
menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan
sekolah perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun
1970, dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah
Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah
Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak
dilaksanakan secara merata di seluruh provinsi.
Pada tahun
1974, mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24
kategori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga
kesehatan nonsarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat
Kesehatan (SPK) dengan tujuan menciptakan tenaga multitujuan di lapangan yang
salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Akan tetapi, karena
adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan
kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong
persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.
Pada tahun
1975 sampai 1984, institusi pendidikan bidan ditutup sehingga selama 10 tahun
tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan
hidup dengan wajar.
Tahun 1981
dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu dan anak untuk meningkatkan kemampuan
perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk
kebidanan. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh
semua institusi.
Pada tahun
1985, dibuka lagi program pendidikan bidan (PPB) yang menerima lulusan dari PR
dan SPK. Pada saat itu, dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak setta keluarga berencana di
masyarakat. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada
institusi yang mengirim.
Tahun 1989
dibuka program pendidikan bidan secara nasional yang membolehkan lulusan SPK
untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai
Program Pendidikan Bidan A (PPB/A) dengan lama pendidkan satu tahun. Lulusannya
ditempatkan di desa-desa dengan tujuan memberi pelayanan kesehatan terutama
pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak.
Untuk itu, pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai
tidak tetap (Bidan PTT)-kontrak dengan pemerintah selama tiga tahun yang
kemudian dapat diperpanjang sampai 2-3 tahun lagi.
Penempatan
bidan di desa (BDD) ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah.
BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinis
sebagai bidan tetapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling, dan
kemapuan untuk mengerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan
ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan A diselenggarakan dengan peserta didik
yang cukup banyak. Diharapkan pada tahu 1996, sebagian besar desa sudah
memiliki inimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak
memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagi seorang
bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat (hanya satu
tahun) dan jumlah peserta didik yang terlalu besar. Kesempatan peserta didik
untuk praktik di klinik kebidanan sangat kurang sehingga tingkat kemampuan yang
seharusnya dimiliki oleh seorang bidan profesional tidak dapat tercapai.
Pada tahun
1993, dibuka Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan
akademi perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini
adalah menyiapkan tenaga pengajar Pendidikan Program Bidan A. hasil penelitian
terhadap kemampuan klinis kebidanan lulusan ini menunjukkan bahwa kompetensi
bidan yang diharapkan tidak tercapai karena lama pendidikan yang terlalu
singkat yaitu hanya satu tahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua
angkatan (1995-1996) kemudian ditutup.
Pada tahun
1993, juga dibuka Pendidikan Bidan Program C yang menerima murid dari lulusan
SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 provinsi yaitu Aceh, Bengkulu, Lampung, dan
Riau (wilayah Sumatera); Kalimanta Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan (wilayah Kalimantan); Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
dan Irian Jaya. Pendidikan ini memiliki kurikulum 3700 jam dan dapat
diselesaikan dalam waktu enam semester.
Selain
program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga
menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning) di
tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kebijakan ini
dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan.
Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/VII/1994.
Diklat
Jarak Jauh (DJJ) bidan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya serta diharapkan dapat
memebri dampak pada penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. DJJ
Bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah.
Pendidikan
ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di
Provinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 provinsi. Pada Tahap II
(1996-1997), DJJ dilaksanakan di 16 provinsi dan pada tahap III (1997-1998),
DJJ dilaksanakan di 26 provinsi. Secara kumulatif pada tahap I-III, DJJ telah
diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada
tahap IV (1998-1999), DJJ dilaksanakan fi 26 provinsi dengan jumlah tiap
provinsinya adalah 60 orang, kecuali Provinsi Maluku, Irian Jaya, dan Sulawesi
Tengah masing-masing hany 40 orang, dan Provinsi Jambi 50 orang.
Selain
pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan
kegawatdaruratan maternal dan neonatal (Life Saving Skill, LSS) dengan materi
pembelajaran berbentuk 10 modul. Pelatihan ini dikoordinasikan oleh Direktorat
Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas., sedangkan pelaksananya dilakukan di rumah
sakit provinsi/kabupaten. Ditinjau dari prosesnya, penyelenggaraan ini
dinilai tidak efektif.
Pada tahun
1996, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan
American College of Nurse Midwife (ACNM) serta rumah sakit swasta mengadakan
training of trainer (TOT) LSS yang pesertanya adalah anggota IBI berjumlah 8
orang, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di Pengurus Pusat IBI. Tim
pelatih LSS ini mengadakan acara TOT dan pelatihan untuk para bidan desa. (yang
dilaksanakan di 14 provinsi) dan bidan praktik swasta (yang dilaksanakan secara
swadaya) serta kepada guru/dosen dari diploma kebidanan.
Pada tahun
1995-1998, IBI bekerja sama dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer
review bagi bidan rumah sakit., bidan puskesmas, serta bidan desa di Provinsi
Kalimantan Selatan.
Pada tahun
2000, telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan
oleh Mterna Neonatal Health (MNH) yang sampai saat ini telah memberi pelatihan
APN di beberapa provinsi/ kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya dijukan
untuk bidan di pelayanan tetapi juga bidan yang menjadi guru atau dosen di
sekolah/akademi kebidanan.
Selain
melalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan
juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi dengan materi pengembangan
organisasi (Organization Development, OD) dilaksanakan setiap tahun sebanyak
dua kali mulai tahun 1996 sampai tahun 2000 dengan biaya dari UNICEF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar