Kamis, 18 September 2014

NILAI-NILAI KEISLAMAN




1.      Definisi Nilai Keislaman
Kata nilai dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti harga. Nilai memiliki makna yang berbeda bila berada pada konteks yang berbeda pula. Dalam konteks  akademik nilai bisa berarti angka kepandaian, ”rata – rata nilai mata pelajaran matematika”. Dalam konteks yang lain nilai berarti kadar, ”nilai gizi berbagai jeruk hampir sama.”[1]
Mulyana mendefinisikan ”nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.”[2]
 Pengertian ini tidak secara eksplisit menyebutkan ciri – ciri spesifik seperti  norma, keyakinan, cara, sifat dan ciri – ciri yang lain. Namun definisi tersebut menawarkan pertimbangan nilai bagi yang akan menganutnya. Seseorang dapat memilih suatu nilai sebagai dasar untuk berprilaku berdasarkan keyakinan yang ia miliki.
Guna memperoleh pengertian mengenai nilai keislaman, selanjutnya penulis  akan mendefinisikan tentang agama, karena Islam merupakan salah satu agama.  Dalam bahasa latin agama diucapkan dengan kata Religios, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan kata Religie. Kata ini berasal dari ”re” dan ”eligare”, yang berarti memilih kembali.[3] Yakni memilih kembali ke jalan Tuhan setelah sebelumnya berada pada jalan yang sesat.
Dalam bahasa Arab kata dien digunakan untuk menyebutkan ”agama”. Dien mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan.[4] Hal ini memang sejalan dengan apa yang  terkandung dalam agama mengenai syariat yang harus dipatuhi, keharusan tunduk terhadap Tuhan, dan juga adanya pahala, siksa, surga, dan neraka sebagai balasan.
Islam sebagai agama adalah risalah yang disampaikan oleh Allah kepada Rasul-Nya (Muhammad Saw.) sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum – hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup serta mengatur hubungan dengan Tuhan (hablu minallah), sesama manusia (hablu minannas), dan alam sekitar.[5]
Dengan demikian nilai ke-Islaman dapat didefinisikan sebagai konsep dan keyakinan yang dijunjung tinggi oleh manusia mengenai beberapa masalah pokok yang berhubungan dengan Islam untuk dijadikan pedoman dalam bertingkah laku, baik nilai bersumber dari Allah maupun  hasil  interaksi  manusia  tanpa bertentangan dengan syariat.

2.      Macam-Macam Nilai Keislaman
Secara hakiki nilai agama merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datang dari Tuhan. Struktur mental manusia dan kebenaran mistik-transendental merupakan dua sisi unggul yang dimiliki oleh nilai agama. Karena itu, nilai tertinggi yang harus dicapai adalah adanya keselarasan semua unsur kehidupan. Antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan, atau antara 'itiqad dan perbuatan.[6]
Agama Islam sebagai agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. memiliki kebenaran yang hakiki. Nilai-nilai dalam agama merupakan petunjuk, pedoman dan pendorong bagi manusia untuk memecahkan berbagai masalah hidup seperti ilmu agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer, sehingga terbentuk pola motivasi, tujuan hidup dan perilaku manusia yang menuju kepada keridhaan Allah.
Dalam agama Islam terdapat beberapa pokok ajaran yang dapat menjamin bagi terwujudnya kehidupan manusia lahir batin, dunia akhirat. Oleh karena itu nilai-nilai keagamaan dalam Islam didasarkan pada pokok-pokok ajaran tersebut, yakni akidah, syariah dan akhlaq. Selanjutnya penulis akan menguraikan pokok-pokok ajaran Islam tersebut sekaligus sebagai nilai tertinggi dalam agama Islam.

a.       Nilai akidah
Akidah adalah urusan yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, menentramkan jiwa, dan menjadi keyakinan yang tidak bercampur dengan keraguan. Karakteristik akidah Islam bersifat murni, baik dalam isi maupun prosesnya, dimana hanyalah Allah yang wajib diyakini, diakui dan disembah. Keyakinan tersebut sedikitpun tidak boleh dialihkan kepada yang lain, karena akan berakibat penyekutuan yang berdampak pada motivasi ibadah yang tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan Allah swt,. Akidah ini termanifestasi dalam kalimat thoyyibah (laa Ilaaha illallah). Dalam prosesnya, keyakinan tersebut harus langsung, tidak boleh melalui perantara. Akidah demikian yang akan melahirkan bentuk pengabdian hanya kepada Allah, berjiwa bebas, merdeka dan tidak tunduk pada manusia dan makhluk Tuhan lainnya.[7]
b.      Nilai syariah
Secara redaksional pengertian syariah adalah "the part of the water place" yang berarti tempat jalannya air, atau secara maknawi adalah sebuah jalan hidup yang telah ditentukan Allah swt., sebagai panduan dalam menjalan kehidupan di dunia untuk menuju kehidupan akhirat. Kata syariah menurut pengertian hukum Islam berarti hukum-hukum dan tata aturan yang disampaikan Allah swt., agar ditaati hamba-hamba-Nya. Syariah juga diartikan sebagai satu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam lainnya.[8]
c.       Nilai akhlaq
Menurut pendekatan etimologi, akhlaq berasal dari bahasa arab khuluqun yang artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti Pencipta dan makhluk yang berarti yang diciptakan. Pola bentuk definisi akhlaq tersebut muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara Khaliq dengan makhluk secara timbal balik, yang kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk hablum minallah yang verbal, biasanya lahirlah pola hubungan antarsesama manusia yang disebut dengan hablum minannas.[9] Jadi akhlaq dalam Islam mencakup pola hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan ditambah lagi hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya.
3.      Penanaman Nilai Keagamaan pada Siswa
Banyak cara yang dapat digunakan untuk menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan kepada siswa. Penanaman nilai tidak melulu melalui proses pengajaran saja, karena pengajaran hanyalah sebagian dari pendidikan. Pengajaran sebatas penambahan pengetahuan (kognitif) dan pembinaan keterampilan. Jadi pengajaran belum mencapai aspek sikap dan kepribadian siswa dimana nilai itu akan menyatu.
Beberapa usaha untuk menanamkan nilai keagamaan diantaranya: Pemberian keteladanan, Pembiasaan, Penciptaan suasana lingkungan yang religius, Pemberian motivasi. Menurut hemat penulis cara-cara di atas nampaknya cukup efektif guna menanamkan nilai-nilai keagamaan pada siswa. Dengan alasan keempat cara tersebut lebih menyentuh aspek-aspek sikap dan kepribadian siswa.
Perlu diperhatikan bahwa upaya menemukan teknik-teknik penanaman nilai keagamaan itu harus ada pada guru, spesifikasi sekolah dan tempat pendidikan yang masing-masing berbeda. Teknik-teknik tertentu sangat sesuai diterapkan pada suatu kondisi, namun belum tentu cocok pada kondisi lain. Sebagaimana teknik pembelajaran juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik. Memasukkan konsep ke dalam susunan berbentuk karangan indah, nyanyian kemungkinan efektif diterapkan pada murid-murid tingkat taman kanak-kanak dan sekolah dasar sembilan tahun. Sedangkan tingkat yang lebih tinggi menggunakan model perenungan yang mendalam karena mereka telah mampu berpikir secara abstrak.[10]
Pelaksanaan pendidikan agama sangat kompleks, menyangkut berbagai aspek, karena itu keberhasilannya pun terkait pula dengan berbagai aspek tersebut, antara lain peserta didik, pendidik, kurikulum, manajemen, metode, evaluasi, dan lain sebagainya. Untuk mengefektifkan pelaksanaannya perlu diadakan evaluasi terhadap berbagai hal tersebut.


[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 783.
[2] Rohmat Mulyana, op. cit., h. 11
[3] Abu Ahmadi dan Noor Salim, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 13.
[4] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 28.
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, (Jilid I; Jakarta: UI Press, 1979), h. 9.
[6] Rohmat Mulyana, op.cit., h. 33.
[7] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 84.
[8] Muhammad Alim, op.cit., h. 132.
[9] Zahruddin Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 2.
[10] Ahmad Tafsir, op. cit., h. 233.

1 komentar: