Kamis, 18 September 2014

Pengajaran Individual



  1. Pengertian Pengajaran Individual
Pengajaran adalah proses, perbuatan cara mengajar atau mengajarkan (perihal mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar).[1]
Pengajaran adalah arti dari sebuah kata dari Bahasa Yunani yaitu didaskien (didaktik). Dengan didaktik, ilmu mengajar yang memberikan prinsip-prinsip tentang cara-cara penyampaian bahan pelajaran sehingga dikuasai dan dimiliki oleh anak – anak.[2]
Para ahli pendidikan telah mencoba merumuskan batasan pengertian tentang pengajaran, diantaranya seperti yang dikatakan oleh Hasan Langgulung dalam bukunya yang berjudul Pendidikan dan Peradaban Islam, bahwa pengajaran adalah pemindahan pengetahuan dari seseorang yang mempunyai pengetahuan kepada orang lain yang belum mengetahui.[3]
Dari pengertian tentang pengajaran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengajaran adalah suatu usaha  interaksi belajar mengajar manusia yang bersifat kompleks, agar usaha tersebut mampu membentuk manusia yang baik. Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara siswa dan guru. Diantara keduanya terdapat hubungan atau komunikasi interaksi.
Sedang pengertian individual adalah  mengenai atau hubungan dengan manusia secara pribadi yang bersifat perorangan bukan peregu.[4]
Individual berarti tidak dapat dibagi  (individed), tidak dapat dipisahkan, keberadaannya sebagai makhluk yang dipilah, tunggal, dan khas. Menurut kamus Echols dan Shadaly, individual merupakan kata benda dari individu, yang berarti orang, perseorangan, oknum.[5]
Jadi pengertian dari individual itu sendiri, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan individual adalah suatu kesatuan yang masing-masing memiliki ciri khas, dan karena itu tidak ada dua individu yang sama, satu dengan yang lainnya berbeda.
Melihat pada pengertian tentang pengajaran dan individual tersebut, maka pengertian pengajaran individual adalah proses perbuatan cara mengajar atau mengajarkan (perihal mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar) yang berhubungan secara individu.
Di samping itu, pengajaran individual adalah pengajaran yang diberika oleh guru, dimana seorang guru atau tiem guru, kepada seorang murid didalam kelas ataupun di luar kelas. Dalam hal ini guru harus memandang murid sebagai individu, satu kesatuan yang bulat yang berbeda satu sama lainnya.[6]
Pengajaran individual adalah memperhatikan kekuatan setiap individu dari segi tingkat kesanggupannya mempelajari bahan -bahan yang dipelajari.[7]
Yang penulis maksud dengan pengajaran individual adalah pengajaran yang memperhatikan atau berorientasi pada perbedaan – perbedaan individual anak.
  1. Kelebihan dan Kekurangan Pengajaran Individual
Pengajaran individual merupakan salah satu metode pengajaran yang efektif dan efisien. Pengajaran individual juga responsif terhadap kebutuhan - kebutuhan siswa. Selain itu pengajaran individual dapat dikatakan lebih manusiawi, hal ini ditujukan oleh kelebihan - kelebihannya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa semua kegiatan dikatakan sempurna, tetapi pasti juga memiliki kekurangan atau kelemahan-kelemahan tertentu. Kelebihan dan kekurangan pengajaran individual antara lain yaitu:
a.       Kelebihannya
1)      Tujuan instruksional umum lebih realitas, dan dapat ditentukan untuk setiap siswa.
2)      Materi dan sumber untuk tujuan intruksional umum dapat disesuaikan dengan kemampuan dan latarbelakang siswa.
3)      Lebih mementingkan pendekatan individual bila ada kesulitan – kesulitan yang dihadapi
4)      Memungkinkan siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan kecepatan sendiri
5)      Umpan balik lebih konsisten dengan kebutuhan siswa.
b.      Kekurangannya
1)      Tidak menghemat dalam tenaga, pikiran, waktu, biaya, dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan karena yang dilayani hanya satu-persatu dari siswa.
2)      Guru harus pandai menyesuaikan diri dengan murid, karena setiap murid tidak sama, setiap murid mempunyai kepribadian yang berbeda satu sama lainnya.
3)      Dalam waktu yang sama memberikan pengajaran kepada tiap murid yang tak sama, karena tiap murid berbeda daya serapnya.
4)      Tiap guru harus memerlukan waktu untuk menyesuaikan dengan tiap pribadi murid yang unik itu.[8]
Sedangkan J. Mursell dan Nasution berpendapat bahwa kelebihan dan kekurangan dari pengajaran individual adalah:
a.       Kelebihannya
1)      Anak – anak mendapatkan tugas sesuai dengan kesanggupannya
2)      Anak – anak dapat bantuan individual dari guru
3)      Murid dapat bekerja menurut kecepatannya masing – masing
4)      Murid dapat mengatur waktu sendiri
b.      Kekurangannya
1)      Mengesampingkan pengaruh – pengaruh sosial
2)      Mengesampingkan pemikiran kelompok
3)      Tidak efisiensi waktu
4)      Mengesampingkan interaksi individu yang sangat berharga dan merangsang kegiatan anak – anak.[9]
Berbeda juga menurut J.J. Hasibun dan Ibrahim, pengajaran individual banyak mempunyai kelebihannya dari pada kekurangannya. Kelebihannya diantaranya yaitu:
a)      Tiap anak mempunyai kesempatan tatap muka langsung dengan guru
b)      Anak mendapatkan bimbingan guru secara perorangan
c)      Berhubungan interpersonal yang akrap guru dengan anak
d)      Anak akan belajar sesuai dengan kecepatan, cara kemampuan dan minatnya
e)      Anak mendapat bantuan dari guru sesuai dengan kebutuhannya.
f)        Anak dilibatkan dalam penentuan cara belajar yang akan ditempuh, materi dan alat yang akan digunakan, bahkan tujuan yang akan dicapai.
Sedangkan kekurangan dari pengajaran individualnya diantaranya:
(1)   Tidak hemat tenaga dan waktu, karena pembelajarannya perorangan.
(2)   Guru harus pandai menyesuaikan diri dengan anak, karena setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda.
(3)   Penguasaan kelas kurang terkendali, karena perhatian guru akan banyak terfokus pada perorangan
(4)   Bagi anak yang pandai akan mendapat banyak materi dan dapat menyelesaikan kurikulum yang dirancang untuknya, sedangkan bagi siswa yang kurang pandai akan lambat menyelesaikan kurikulum yang dirancang untuknya.[10]
  1. Azas Pengajaran Individual
a.       Azas Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Mursell menyebut azas ini dengan istilah “mastery unit-technique” atau teknik menguasai unit, yaitu cara penyajian bahan pelajaran di mana bahan yang akan dipelajari itu dikelompokkan dalam ‘unit’ atau satuan bahan pelajaran yang dirumuskan dengan seksama, yang harus dipelajari dulu oleh siswa sampai dikuasai sebelum melanjutkan pelajaran berikutnya.[11]
Good dan Brophy mengatakan bahwa “mastery learning is an instructional strategy that allows students to study material until they master it. Jadi menurut Good dan Brophy belajar tuntas adalah suatu strategi pengajaran yang mengizinkan kepada siswa untuk mempelajari materi pelajaran sampai mereka menguasainya.[12]
Dalam hubungan dengan belajar tuntas ini Bloom menyatakan bahwa jika kepada siswa diberikan waktu untuk menguasai materi pelajaran dan jika tugas-tugas diatur secara urut menurut cara-cara yang tepat, hampir semua siswa dapat menguasai hampir semua materi pelajaran yang tercantum dalam kurikulum sekolah. Bloom telah membuktikan adanya hubungan yang kuat antara jumlah waktu pengajaran dan achievement siswa. Di bawah kondisi pengajaran yang normal (jika kepada semua siswa diberi jumlah waktu yang sama untuk mempelajari sesuatu materi), korelasi antara kecakapan pembawaan (aptitude siswa dan achievement sekitar 0,70. Dan apa yang terjadi pada hubungan antara aptitude dan achievement tersebut jiwa pada hubungan antara aptitude dan achievement tersebut jika kepada para siswa diberikan waktu yang cukup untuk belajar sampai mereka dapat menguasai seluruh materi pelajaran? Bloom memberikan data bahwa 80 persen dari siswa dapat mencapai tingkat achievement yang lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh kondisi belajar yang bukan mastery. Bahkan Carroll menyebutkan korelasi antara aptitude dan achievement akan mendekati nol.[13]
Dalam konsep belajar tuntas bahan pelajaran itu dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil yang disebut satuan pelajaran (learning unit). Tujuan untuk masing-masing unit ini dirumuskan secara tegas dan penguasaan terhadap tujuan masing-masing unit itu merupakan hal yang sangat penting untuk menguasai tujuan umum pelajaran (major objectives). Agar supaya tujuan pengajaran itu benar-benar jelas dan spesifik, menurut Robert Mager harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1)      Tujuan pengajaran itu dirumuskan dengan menggunakan istilah-istilah yang menunjukkan perbuatan (performance).
2)      Dalam rumusan tujuan pengajaran itu harus memberikan kondisi kapankah perbuatan itu harus terjadi.
3)      Rumusan tujuan pengajaran itu harus berisikan suatu pernyataan mengenai perbuatan yang akseptabel.[14]
Gagasan mengenai belajar tuntas itu berasal dari John B Carroll (1963) yang mengusulkan adanya model bagi pengajaran di sekolah (school learning). Model itu diperoleh dari hasil pengamatannya bahwa kecakapan siswa dalam suatu bahan pelajaran dapat diukur dari tingkat penguasaan bahan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat penguasaan atas bahan tersebut.[15]
b.      Azas Maju Berkelanjutan
Maju berkelanjutan adalah azas kurikulum (kurikulum dalam arti luas) yang memungkinkan anak didik secara individual dan secara kontinyu mengikuti program pendidikan yang bertujuan tercapainya pertumbuhan dan perkembangan pribadi secara optimal, sehingga anak didik yang cepat atau cerdas tidak dihambat oleh kawan-kawan yang lebih rendah minat atau daya intelektualnya dan anak didik yang lamban atau kurang cerdas tidak harus mengikuti kecepatan anak yang lebih berbakat dalam kemampuan dan minatnya untuk sesuatu bidang kegiatan pendidikan.[16]
Azas maju berkelanjutan tersebut dalam organisasi kurikulum dapat dilaksanakan dengan teknik akselerasi dan teknik pengayaan. Teknik akselerasi adalah teknik yang memungkinkan anak didik melanjutkan tugas pelajaran berikutnya setelah dapat menyelesaikan tugas-tugas yang dipersyaratkan kepadanya, tanpa menunggu teman-temannya menyelesaikan tugas serupa. Dengan demikian, dasar teknik akselerasi adalah belajar tuntas, sedangkan teknik pengayaan adalah teknik yang memungkinkan anak didik memperoleh tambahan pengalaman belajar baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sesuai dengan kemampuan masing-masing anak didik setelah yang bersangkutan menyelesaikan tugas pelajaran yang dipersyaratkan kepadanya.
c.       Pengajaran Modul
Pengajaran modul merupakan usaha merealisasikan pengajaran individual yang menggunakan azas belajar tuntas dan maju berkelanjutan tersebut. Untuk memperoleh pengertian mengenai pengajaran modul dapat diketengahkan beberapa batasan tentang modul sebagai berikut:
1)      James D. Russel mengatakan bahwa modul merupakan sebuah paket pengajaran yang berisi sebuah konsep satuan pelajaran. Modul merupakan suatu usaha untuk mengindividualisasikan pelajaran dengan memungkinkan siswa untuk menguasai satu satuan isi pelajaran sebelum berpindah kepada satuan isi pelajaran yang lain.[17]
2)      Goldschmid and Goldschmid memberi batasan modul sebagai materi pelajaran yang dapat dipelajari sendiri, dan sebagai satuan pelajaran yang berdiri sendiri dari serangkaian kegiatan belajar yang direncanakan untuk menolong siswa menyelesaikan tujuan pelajaran yang sudah dirumuskan secara baik.[18]
3)      RM. Thomas memberikan dua macam batasan tentang modul, pertama batasan modul yang bersifat umum dan kedua batasan modul secara terperinci.[19]
Batasan modul yang secara umum mengatakan modul sebagai suatu paket yang berisi pedoman bagi guru dan materi pelajaran bagi siswa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan khusus daripada pelajaran yang disediakan untuk suatu periode waktu yang berlangsung selama lima belas menit atau selama enam sampai delapan jam pelajaran yang dibagi menjadi tiga atau empat minggu.[20]
Sedangkan batasan modul secara terperinci menurut RM. Thomas mengatakan bahwa pengajaran modul merupakan suatu paket materi pelajaran yang berisi:
a)      Gambaran mengenai tujuan khusus.
b)      Petunjuk yang menerangkan kepada guru mengenai cara-cara pelajaran itu dapat diajarkan dengan cara yang paling efektif.
c)      Bahan bacaan bagi siswa.
d)      Lembaran kerja bagi siswa yang harus dikerjakan setelah selesai membaca atau mempelajari bahan bacaan.
e)      Lembaran jawaban untuk mengetahui apakah jawabannya betul atau salah.
f)        Alat evaluasi test dan skala ukuran keberhasilan.[21]
4)      Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen Pendidikan Nasional memberikan batasan modul sebagai berikut:
Modul adalah satu unit program belajar-mengajar terkecil yang secara terperinci menggariskan:
a)      Tujuan-tujuan instruksional umum yang akan ditunjang pencapaiannya.
b)      Topik yang akan dijadikan pangkal proses belajar-mengajar.
c)      Tujuan-tujuan instruksional khusus yang akan dicapai oleh siswa.
d)      Pokok-pokok materi yang akan dipelajari dan diajarkan.
e)      Kedudukan dan fungsi satuan (modul) dalam kesatuan program yang lebih luas.
f)        Peranan guru di dalam proses belajar-mengajar.
g)      Alat-alat dan sumber yang akan dipakai.
h)      Kegiatan-kegiatan belajar yang harus dilakukan dan dihayati murid secara berurutan.
i)        Lembaran-lembaran kerja yang harus diisi anak.
j)        Program evaluasi yang akan dilaksanakan selama berjalannya proses belajar ini.[22]
St. Vembriarto menyimpulkan sifat-sifat modul adalah sebagai berikut:
(1)   Modul itu merupakan unit (paket) pengajaran terkecil dan lengkap.
(2)   Modul itu memuat rangkaian kegiatan belajar yang direncanakan dan sistematik.
(3)   Modul memuat tujuan belajar (pengajaran) yang dirumuskan secara eksplisit dan spesifik.
(4)   Modul memungkinkan siswa belajar sendiri (independent), modul memuat bahan yang bersifat selfinstructional.
(5)   Modul merupakan realisasi pengakuan perbedaan individual, merupakan satu satu perwujudan pengajaran individual.[23]
Atas dasar pengertian modul seperti diuraikan di atas dapat dirumuskan pengajaran modul adalah sistem pengajaran yang menyajikan bahan pelajarannya dengan menggunakan modul.
d.      Azas Pengajaran Modul
Menurut James D. Russel, pengajaran modul itu mempunyai enam azas, yaitu: 1) Azas individualisasi (individualized), 2) Azas fleksibel (flexible), 3) Azas kebebasan (freedom), 4) Azas partisipasi aktif (active participation), 5) Azas peranan guru (teacher’s role), dan 6) Azas interaksi siswa (students interaction)[24]
e.       Ciri-Ciri Pengajaran Modul
James D. Russel mengkategorikan pengajaran modul dalam delapan ciri-ciri khas, yaitu: 1) Modul merupakan paket pelajaran yang bersifat selfinstructional. 2) Adanya pengakuan terhadap adanya perbedaan individual. 3) Modul memuat rumusan tujuan pengajaran secara eksplisit. 4) Adanya asosiasi, struktur, dan urutan pengetahuan. 5) Penggunaan berbagai macam media. 6) Partisipasi aktif dari siswa. 7) Adanya penguatan (reinforcement) langsung terhadap respon siswa, dan 8) Adanya evaluasi terhadap penguasaan hasil belajar siswa.[25]


[1] Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) h. 15
[2] S. Nasution, Didaktik Asas-asa Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 1
[3] Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 72
[4] Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., h. 329
[5] H. Sunarto, B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999) h. 2
[6] Roestiyah. N.K, Masalah Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) h. 50
[7] H.M. Ali,  Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Argensindo, 1996) h. 94
[8] Roestiyah. N.K, op.cit, h. 51-53
[9] J. Mursell, Nasution, Mengajar dengan Sukses, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 79
[10] Ibrahim J.J. Hasibun, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Rosdakarya, 1994), h. 129
[11] James L. Mursell, Successful Teaching. (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, Penerjemah: IP. Simanjuntak & Soeitoe: 1975), h, 39
[12]  Thomas L. Good & Jere E. Brophy, Educational Psychology: a Realistic Approach, (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1980), h. 238.
[13]  James H. Block, Mastery Learning, (New York: Hold, Rinehart and Winston Inc, 1971),. h, 50.
[14]  James D. Russel, Modular Instruction, (Minneapolis: Burgess Publishing Company, 1974), h, 46
[15]  James H. Block, op. Cit, h, 31.
[16]  St. Vembriarto, Pengantar Pengajaran Modul, (Yogyakarta: Gunung Agung, 1980), h, 3-4.
[17]  James D. Russel, op. cit. h, 3.
[18] Ibid, h, 12.
[19]  St. Vembriarto, Pengantar Pengajaran Modul, (Yogyakarta: Gunung Agung, 1980), h. 35.
[20] Ibid, h, 35
[21]  Ibid, h, 36
[22]  Ibid, h. 36.
[23]  Ibid, h, 37.
[24]  James D. Russel, op. cit. h, 3-5.
[25] Ibid, h, 13.

1 komentar: