Kamis, 18 September 2014

Sasaran Pendidikan Islam



Sejalan dengan misi  agama Islam yang bertujuan memberikan  rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini, maka pendidikan Islam mengidentifikasikan  sasarannya yang digali dari sumber ajaran al-Qur’an, meliputi empat pengembangan fungsi manusia yaitu :
1)      Menyadarkan manusia secara individu pada posisi dan fungsinya di tengah  makhluk lain, secara tanggung jawab dalam hidupnya. Dengan kesadaran ini, manusia akan mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama di antara makhluk lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai khalifah di muka bumi ini, bahkan malaikat pun pernah bersujud kepadanya karena manusia sedikit lebih tinggi  kejadiannya dari malaikat yang hanya terdiri atas unsur rohaniah, yaitu nur Ilahi. Manusia adalah makhluk yang terdiri atas perpaduan unsur-unsur rohani dan jasmani.[1]
Sedangkan beban tanggung jawabnya terhadap dirinya dan masyarakat sebagai konsekwensi kedudukannya dinyatakan oleh Allah dalam Q.S. al-Isra / 17: 15
Terjemahnya :
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.[2]

a.       Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat itu. Oleh karena itu, manusia harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan sesamanya dalam kehidupan  bermasyarakat. Manusia  adalah homo sosius (mahluk sosial). Itulah sebabnya Islam mengajarkan tentang persamaan, persaudaraan, kegotongroyongan dan musyawarah yang dapat membentuk masyarakat itu menjadi suatu persekutuan  hidup yang utuh.[3] Prinsip hidup bermasyarakat demikian dikehendaki  oleh Allah dalam firmannya, Q.S. Al-Anbiya / 21: 92.
Terjemahnya  :
Sesungguhnya  ummatmu itu adalah umat  yang satu dan aku adalah Tuhan-mu maka sembahlah  aku.[4]

b.      Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, manusia sebagai homo divinas (mahluk yang  berketuhanan), sikap dan watak religiusnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya. Pada hakikatnya, dalam diri  tiap manusia  telah diberi kemampuan untuk beragama dan kemampuan itu berada di dalam fitrahnya secara alami. Oleh karena itu, seorang sarjana barat C. G. Jung, memandang kemampuan beragama sebagai naturaliter religiosa (naluri beragama).[5]
Firman Allah yang menyadarkan posisi manusia sebagai hamba-Nya yang harus beribadat kepada-Nya. Firman Allah dalam Q.S. al-An’am / 6: 102-103.
Terjemahnya  :
(yang memiliki sifat-sifat) demikian itu  adalah Allah  Tuhanmu ; tidak ada Tuhan selain dia, pencipta segala sesuatu maka sembahlah dia, dan dia adalah  pemelihara segala sesuatu, dia tidak dapat  dijangkau oleh daya penglihatan  mata, sedang dia dapat  melihat segala yang kelihatan, dan dialah  yang maha kuasa lagi maha Mengetahui.[6]

c.       Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya.[7]
Kesadaran demikian, menujukkan manusia sebagai khalifah di atas bumi dan yang terbaik di antara makhluk lain, yang mendorong  untuk melakukan pengelolaan,  mengeksploitasikan serta mendayagunakan ciptaan Allah untuk kesejahteraan hidup bersama dengan lainnya. Pada akhirnya, kesejahteraan yang diperolehnya itu digunakan sebagai  saran  untuk  mencapai kebahagiaan  hidup di akhirat.
Selain  itu, dalam kejadian alam ciptaan Allah ini terkandung rahasia agar dapat diungkapkan, supaya memberikan cakrawala ilmu pengetahuan yang benar serta hikmah yang tinggi bagi manusia. Oleh karena itu, terserah kepada manusia sendiri, bagaimana cara mengungkapkan rahasia tersebut. Sudah  tentu faktor akal budi (ratio), sangat menentukan mampu atau tidaknya manusia menggali dan mengungkapkan rahasia alam tersebut. Untuk itu faktor kegiatan belajar dan mengajar merupakan  pangkal tolak  dari kemampuan tersebut di atas.
Dalam hubungan ini Allah telah menunjukkan dalam firmanya Q.S. al-An’am/ 6 : 95.
Terjemahnya :
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir-butir tanaman dan biji buah-buahan. Dan mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, (yang memiliki sifat-sifat demikian itu) ialah Allah, maka mengapa kamu masih juga berpaling dari pada-Nya.[8]

Di dalam kejadian ini terdapat sistem bekerja yang teratur yang dapat diimitasi oleh manusia dalam usaha “menciptakan” alat teknologi atau membuat   sistem organisasi  dan manajemen  dalam masyarakat. Inilah  suatu supra sistem dari Tuhan yang mengandung kebenaran yang pasti dapat membahagiakan hidup makluk-Nya.


[1] Muhammad  Fadhil al-Djamali,  Attarbijjah  al-Insan Al-Djadied, Tunisia al-Syghly: Matba'ah al-Ittihad al-'Aam, 1967, h.99
[2] Departemen Agama RI, al Qur’an al Karim dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), h. 426.
[3] Muhammad  Fadhil al-Djamali,  op.cit., h. 99.
[4] Departemen Agama RI, op.cit., h. 507.
[5] Muhammad  Fadhil al-Djamali,  op.cit., h. 99.
[6] Departemen Agama RI, op.cit., h. 204
[7] Muhammad  Fadhil al-Djamali,  op.cit., h. 99.
[8] Departemen Agama RI, op.cit., h. 203.

1 komentar: