Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini,
maka pendidikan Islam mengidentifikasikan
sasarannya yang digali dari sumber ajaran al-Qur’an, meliputi empat
pengembangan fungsi manusia yaitu :
1) Menyadarkan manusia secara individu pada
posisi dan fungsinya di tengah makhluk
lain, secara tanggung jawab dalam hidupnya. Dengan kesadaran ini, manusia akan
mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama di antara makhluk
lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai khalifah di muka bumi ini, bahkan
malaikat pun pernah bersujud kepadanya karena manusia sedikit lebih tinggi kejadiannya dari malaikat yang hanya terdiri
atas unsur rohaniah, yaitu nur Ilahi. Manusia adalah makhluk yang terdiri atas
perpaduan unsur-unsur rohani dan jasmani.[1]
Sedangkan beban tanggung jawabnya terhadap dirinya dan masyarakat sebagai konsekwensi
kedudukannya dinyatakan oleh Allah dalam Q.S. al-Isra / 17: 15
Terjemahnya :
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,
dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.[2]
a. Menyadarkan fungsi manusia dalam
hubungannya dengan masyarakat serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban
masyarakat itu. Oleh karena itu, manusia harus mengadakan interelasi dan
interaksi dengan sesamanya dalam kehidupan
bermasyarakat. Manusia adalah homo
sosius (mahluk sosial). Itulah sebabnya Islam mengajarkan tentang
persamaan, persaudaraan, kegotongroyongan dan musyawarah yang dapat membentuk
masyarakat itu menjadi suatu persekutuan
hidup yang utuh.[3] Prinsip hidup bermasyarakat demikian
dikehendaki oleh Allah dalam firmannya,
Q.S. Al-Anbiya / 21: 92.
Terjemahnya :
Sesungguhnya
ummatmu itu adalah umat yang satu
dan aku adalah Tuhan-mu maka sembahlah
aku.[4]
b. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam
dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, manusia sebagai homo
divinas (mahluk yang berketuhanan),
sikap dan watak religiusnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
menjiwai dan mewarnai kehidupannya. Pada hakikatnya, dalam diri tiap manusia
telah diberi kemampuan untuk beragama dan kemampuan itu berada di dalam
fitrahnya secara alami. Oleh karena itu, seorang sarjana barat C. G. Jung, memandang
kemampuan beragama sebagai naturaliter religiosa (naluri beragama).[5]
Firman Allah yang menyadarkan posisi manusia
sebagai hamba-Nya yang harus beribadat kepada-Nya. Firman Allah dalam Q.S.
al-An’am / 6: 102-103.
Terjemahnya :
(yang memiliki sifat-sifat) demikian itu adalah Allah
Tuhanmu ; tidak ada Tuhan selain dia, pencipta segala sesuatu maka
sembahlah dia, dan dia adalah pemelihara
segala sesuatu, dia tidak dapat
dijangkau oleh daya penglihatan
mata, sedang dia dapat melihat
segala yang kelihatan, dan dialah yang
maha kuasa lagi maha Mengetahui.[6]
c. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya
terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan
makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil
manfaatnya.[7]
Kesadaran demikian, menujukkan manusia sebagai
khalifah di atas bumi dan yang terbaik di antara makhluk lain, yang
mendorong untuk melakukan
pengelolaan, mengeksploitasikan serta
mendayagunakan ciptaan Allah untuk kesejahteraan hidup bersama dengan lainnya.
Pada akhirnya, kesejahteraan yang diperolehnya itu digunakan sebagai saran
untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat.
Selain itu,
dalam kejadian alam ciptaan Allah ini terkandung rahasia agar dapat
diungkapkan, supaya memberikan cakrawala ilmu pengetahuan yang benar serta hikmah
yang tinggi bagi manusia. Oleh karena itu, terserah kepada manusia sendiri,
bagaimana cara mengungkapkan rahasia tersebut. Sudah tentu faktor akal budi (ratio), sangat
menentukan mampu atau tidaknya manusia menggali dan mengungkapkan rahasia alam
tersebut. Untuk itu faktor kegiatan belajar dan mengajar merupakan pangkal tolak
dari kemampuan tersebut di atas.
Dalam hubungan ini Allah telah menunjukkan dalam
firmanya Q.S. al-An’am/ 6 : 95.
Terjemahnya :
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir-butir
tanaman dan biji buah-buahan. Dan mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup, (yang memiliki sifat-sifat demikian
itu) ialah Allah, maka mengapa kamu masih juga berpaling dari pada-Nya.[8]
Di dalam kejadian ini terdapat sistem bekerja yang teratur yang dapat
diimitasi oleh manusia dalam usaha “menciptakan” alat teknologi atau
membuat sistem organisasi dan manajemen
dalam masyarakat. Inilah suatu supra sistem dari Tuhan yang mengandung
kebenaran yang pasti dapat membahagiakan hidup makluk-Nya.
[1] Muhammad Fadhil al-Djamali, Attarbijjah al-Insan Al-Djadied, Tunisia
al-Syghly: Matba'ah al-Ittihad al-'Aam, 1967, h.99
[2] Departemen Agama RI, al Qur’an al
Karim dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), h. 426.
[3] Muhammad
Fadhil al-Djamali, op.cit.,
h. 99.
[5] Muhammad
Fadhil al-Djamali, op.cit.,
h. 99.
[7] Muhammad
Fadhil al-Djamali, op.cit.,
h. 99.
sangat bagus sekali kak infonya untuk dibaca
BalasHapuscek kuota axis via web