Kamis, 18 September 2014

BUTA AKSARA (DEFENISI & FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA)



1.      Definisi Buta Aksara
Buta aksara terdiri dari dua kata yakni buta dan aksara. Buta diartikan sebagai tidak dapat melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk dan warna dengan cara melihat.[1] Sedangkan aksara adalah sistem tanda grafis atau sistem tulisan yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Dengan sistem tulisan ini, manusia dapat menyimpan kekayaan akal budinya serta mengingat berbagai peristiwa. Karena daya ingat manusia terbatas, dapat dikatakan bahwa tulisan memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam pencatatan sejarah dan berbagai macam peristiwa dalam kehidupan manusia. Tanda-tanda grafis yang digunakan untuk pencatatan tersebut adalah huruf.[2]
Aksara dapat terdiri dari huruf-huruf, angka dan aksara khusus. Aksara yang meliputi huruf-huruf adalah:[3]
a.       ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ
b.      Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz
c.       Aksara yang meliputi angka-angka ialah: 0123456789, dan
d.      Aksara khusus yakni +:-*/()=,.’[]<>;{}
UNESCO mendefinisikan bahwa buta aksara adalah:
“ability to identify, understand, interpret, create, communicate and compute, using printed and written materials associated with varying contexts. Literacy involves a continuum of learning in enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their community and wider society”.[4]

Artinya: kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi dan menghitung, menggunakan material tercetak dan tertulis terkait dengan konteks yang bervariasi. Literasi melibatkan kontinum belajar dalam memungkinkan individu untuk mencapai tujuan mereka, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, dan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam komunitas mereka dan masyarakat yang lebih luas.
Kemampuan baca tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
Banyak analis kebijakan menganggap angka melek aksara adalah tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang berdalih bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih murah dari pada melatih orang yang buta aksara, dan umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca tulis juga berarti peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih tinggi.
2.      Faktor-faktor yang Menyebabkan Buta Aksara
Beberapa penyebab buta aksara dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a.       Kemiskinan penduduk.
Sejak lama, kemiskinan, buta aksara, ketertinggalan dan keterbelakangan, serta ketidakberdayaan masyarakat, memang sudah menjadi bagian dari masalah sosial yang kompleks dan multidimensional.
Adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga saat ini sangat mempengaruhi usaha pemerintah dan masyarakat untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Banyak anak Indonesia yang terancam buta aksara, yang diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan ekonomi keluarga.
b.      Putus sekolah dasar (SD)
Ancaman besar lain yang selalu menghantui dan menjadi penyebab timbulnya calon – calon buta aksara adalah masih besarnya anak – anak SD/MI yang putus sekolah. Belum lagi anak – anak yang belum memiliki kesempatan masuk sekolah dikarenakan berbagai hal, misalnya karena orang tua dan keluarganya tidak mampu.
c.       Drop out program PLS
Salah satu yang kurang diperhatikan penyebab terjadinya buta aksara di Indonesia adalah DO program PLS yang selama ini dilaksanakan baik melalui program Paket A, yang dibiayai proyek OBAMA, UNICEF, PPLS, Pemda dan lainya yang tidak diperhitungkan angka DO-nya, termasuk Paket A setara dengan SD dan Paket B setara SLTP.
d.      Kondisi sosial masyarakat
1)      Kesehatan dan gizi masyarakat.
Kondisi kesehatan dan gizi masyarakat yang kurang baik, jika tidak diperhatikan dengan seksama akan berpengaruh pada menurunya angka partisipasi sekolah, terutama pada tingkat sekolah dasar.
2)      Demografis dan geografis
Dilihat dari segi demografis dan geografis bagian terbesar dari jumlah penduduk tinggal di pedesaan, sekitar 70-80% penduduk dunia terutama di Negara-negara miskin dan yang sedang berkembang termasuk Indonesia bermukim di pedesaan. Tenaga pendidik masih sangat kurang karena sebagian penduduk pedesaan berpendidikan rendah.
3)      Aspek sosiologis.
Ditinjau dari segi sosiologis, sebagian besar masyarakat kita beranggapan bahwa harkat dan martabat seseorang akan meningkat apabila memiliki “ijazah” yang diperoleh melalui jalur pendidikan formal, dengan orientasi ingin menjadi pegawai negeri atau bekerja di perusahaan – perusahaan atau bekerja pada sektor – sektor formal.
4)      Issue gender.
Jika ditinjau dari isu gender, berbagai pendapat menyatakan keberatan yang dinyatakan dengan terus terang maupun hanya sekedar menggerutu di belakang. Pendapat ini tidak sekedar di kalangan aktivis pembangunan, tetapi juga di kalangan orang – orang yang berkecimpung di bidang pengembangan masyarakat utamanya di bidang pendidikan. Isu yang berkembang tahun – tahun belakangan ini yaitu adanya pola hubungan pembagian peran dan tugas antara laki – laki dan perempuan yang seimbang, setara dan saling melengkapi.
e.       Penyebab struktural
1)      Skala makro
Secara struktural pengambilan kebijakan diberbagai level dan bidang, termasuk bidang pendidikan didominasi oleh laki – laki dibanding perempuan, sehingga keputusan yang dihasilkan pun adalah berdasarkan kacamata (kepentingan) laki – laki.

2)      Skala Mikro
Dalam skala keluarga misalnya, hampir semua keputusan yang berkaitan dengan keuangan, akan didominasi oleh figur laki – laki (ayah), termasuk keputusan pembiayaan pendidikan bagi anak – anaknya.
3)      Aspek kebijakan
Masalah klasik lainya adalah program – program yang diluncurkan oleh pemerintah termasuk pendidikan, masih belum seluruhnya berpihak untuk kepentingan pengentasan bagi masyarakat yang memerlukannya. Banyak program – program pendidikan yang hanya bersifat “tawaran” dari atas yang belum tentu masyarakat membutuhkannya. Hal ini pun terjadi pada program pendidikan keaksaraan atau pemberantasan buta aksara, sehingga warga belajar yang menjadi sasaran didiknya tidak memiliki rasa tanggung jawab (sense of responsibility) untuk mensukseskannya, karena bukan berangkat dari apa yang dibutuhkan mereka (bottom-up).[5]
Dari beberapa faktor di atas, kemiskinan adalah faktor utama yang membuat seseorang menjadi buta aksara karena untuk makan sehari-hari juga masih sulit apalagi untuk mengenyam bangku sekolah,  meskipun sekarang sudah yang namanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tapi dana tersebut banyak di korupsi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Faktor struktural juga merupakan faktor cukup memiliki andil dalam menciptakan masyarakat buta huruf karena layanan pendidikan yang jauh juga menjadi faktor seseorang menjadi buta aksara, contohnya saja di daerah pedalaman atau daerah terpencil sangat jauh ke sekolah dasar sekalipun, apalagi ke sekolah lanjutan. Mereka yang di daerah terpencil harus berangkat pagi-pagi sekali atau jam lima pagi karena jarak rumahnya dengan sekolah sangat jauh. Selain itu orang tua menganggap bahwa sekolah itu tidak penting.
Orang tua menganggap bahwa sekolah adalah perbuatan yang sia-sia, tidak penting dan lebiih baik menyuruh anak mereka untuk membantu berladang, berternak, berjualan,menggembalaa hewan, atau bahkan mereka mereka menyuruh anak mereka untuk mengemis atau ngamen di jalan.


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 160
[2] Ensiklopedia Nasional Indonesia, “Aksara”, Jilid 1 (Cet. IV; Bekasi: Delta Pamungkas, 2004), h. 216.
[3] Ibid, h. 215
[4] UNESCO, The Plurality of Literacy and its implications for Policies and Programmes (France:  the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 2004), h. 13.

[5] Kusnadi, dkk, Pendidikan Keaksaraan Filosofi, Strategi, Implementasi, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional direktorat Pendidikan Luar Sekolah Direktorat Pendidikan Masyarakat, 2005), h. 36-47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar