1.
Definisi Buta Aksara
Buta aksara
terdiri dari dua kata yakni buta dan aksara. Buta diartikan sebagai tidak dapat
melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk dan warna dengan cara melihat.[1]
Sedangkan aksara adalah sistem tanda grafis atau sistem tulisan yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi. Dengan sistem tulisan ini, manusia dapat menyimpan
kekayaan akal budinya serta mengingat berbagai peristiwa. Karena daya ingat
manusia terbatas, dapat dikatakan bahwa tulisan memberikan sumbangan yang
sangat berarti dalam pencatatan sejarah dan berbagai macam peristiwa dalam
kehidupan manusia. Tanda-tanda grafis yang digunakan untuk pencatatan tersebut
adalah huruf.[2]
Aksara
dapat terdiri dari huruf-huruf, angka dan aksara khusus. Aksara yang meliputi
huruf-huruf adalah:[3]
a. ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ
b. Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz
c. Aksara yang
meliputi angka-angka ialah: 0123456789, dan
d. Aksara
khusus yakni +:-*/()=,.’[]<>;{}
UNESCO
mendefinisikan bahwa buta aksara adalah:
“ability to
identify, understand, interpret, create, communicate and compute, using printed
and written materials associated with varying contexts. Literacy involves a
continuum of learning in enabling individuals to achieve their goals, to
develop their knowledge and potential, and to participate fully in their
community and wider society”.[4]
Artinya: kemampuan
untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi dan
menghitung, menggunakan material tercetak dan tertulis terkait dengan konteks
yang bervariasi. Literasi melibatkan kontinum belajar dalam memungkinkan
individu untuk mencapai tujuan mereka, untuk mengembangkan pengetahuan dan
potensi mereka, dan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam komunitas mereka dan
masyarakat yang lebih luas.
Kemampuan
baca tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh
seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini
berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali
potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
Banyak
analis kebijakan menganggap angka melek aksara adalah tolak ukur penting dalam
mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini
didasarkan pada pemikiran yang berdalih bahwa melatih orang yang mampu
baca-tulis jauh lebih murah dari pada melatih orang yang buta aksara, dan
umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi,
kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para
analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca tulis juga berarti
peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih
tinggi.
2.
Faktor-faktor yang Menyebabkan Buta Aksara
Beberapa penyebab buta aksara dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
a. Kemiskinan
penduduk.
Sejak lama,
kemiskinan, buta aksara, ketertinggalan dan keterbelakangan, serta
ketidakberdayaan masyarakat, memang sudah menjadi bagian dari masalah sosial
yang kompleks dan multidimensional.
Adanya krisis
ekonomi yang berkepanjangan hingga saat ini sangat mempengaruhi usaha
pemerintah dan masyarakat untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun. Banyak anak Indonesia yang terancam buta aksara, yang
diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan ekonomi keluarga.
b. Putus sekolah dasar
(SD)
Ancaman besar lain
yang selalu menghantui dan menjadi penyebab timbulnya calon – calon buta aksara
adalah masih besarnya anak – anak SD/MI yang putus sekolah. Belum lagi anak –
anak yang belum memiliki kesempatan masuk sekolah dikarenakan berbagai hal,
misalnya karena orang tua dan keluarganya tidak mampu.
c. Drop out program PLS
Salah satu yang
kurang diperhatikan penyebab terjadinya buta aksara di Indonesia adalah DO
program PLS yang selama ini dilaksanakan baik melalui program Paket A, yang
dibiayai proyek OBAMA, UNICEF, PPLS, Pemda dan lainya yang tidak diperhitungkan
angka DO-nya, termasuk Paket A setara dengan SD dan Paket B setara SLTP.
d. Kondisi sosial
masyarakat
1) Kesehatan dan gizi
masyarakat.
Kondisi kesehatan
dan gizi masyarakat yang kurang baik, jika tidak diperhatikan dengan seksama
akan berpengaruh pada menurunya angka partisipasi sekolah, terutama pada
tingkat sekolah dasar.
2) Demografis dan
geografis
Dilihat dari segi
demografis dan geografis bagian terbesar dari jumlah penduduk tinggal di
pedesaan, sekitar 70-80% penduduk dunia terutama di Negara-negara miskin dan
yang sedang berkembang termasuk Indonesia bermukim di pedesaan. Tenaga pendidik
masih sangat kurang karena sebagian penduduk pedesaan berpendidikan rendah.
3) Aspek sosiologis.
Ditinjau dari segi
sosiologis, sebagian besar masyarakat kita beranggapan bahwa harkat dan
martabat seseorang akan meningkat apabila memiliki “ijazah” yang diperoleh
melalui jalur pendidikan formal, dengan orientasi ingin menjadi pegawai negeri
atau bekerja di perusahaan – perusahaan atau bekerja pada sektor – sektor formal.
4) Issue gender.
Jika ditinjau dari
isu gender, berbagai pendapat menyatakan keberatan yang dinyatakan dengan terus
terang maupun hanya sekedar menggerutu di belakang. Pendapat ini tidak sekedar
di kalangan aktivis pembangunan, tetapi juga di kalangan orang – orang yang
berkecimpung di bidang pengembangan masyarakat utamanya di bidang pendidikan.
Isu yang berkembang tahun – tahun belakangan ini yaitu adanya pola hubungan pembagian
peran dan tugas antara laki – laki dan perempuan yang seimbang, setara dan
saling melengkapi.
e. Penyebab struktural
1) Skala makro
Secara struktural pengambilan kebijakan diberbagai
level dan bidang, termasuk bidang pendidikan didominasi oleh laki – laki dibanding
perempuan, sehingga keputusan yang dihasilkan pun adalah berdasarkan kacamata
(kepentingan) laki – laki.
2) Skala Mikro
Dalam skala
keluarga misalnya, hampir semua keputusan yang berkaitan dengan keuangan, akan
didominasi oleh figur laki – laki (ayah), termasuk keputusan pembiayaan
pendidikan bagi anak – anaknya.
3) Aspek kebijakan
Masalah klasik
lainya adalah program – program yang diluncurkan oleh pemerintah termasuk
pendidikan, masih belum seluruhnya berpihak untuk kepentingan pengentasan bagi
masyarakat yang memerlukannya. Banyak program – program pendidikan yang hanya
bersifat “tawaran” dari atas yang belum tentu masyarakat membutuhkannya. Hal
ini pun terjadi pada program pendidikan keaksaraan atau pemberantasan buta
aksara, sehingga warga belajar yang menjadi sasaran didiknya tidak memiliki
rasa tanggung jawab (sense of responsibility) untuk
mensukseskannya, karena bukan berangkat dari apa yang dibutuhkan mereka (bottom-up).[5]
Dari beberapa faktor di atas, kemiskinan adalah
faktor utama yang membuat seseorang menjadi buta aksara karena untuk makan
sehari-hari juga masih sulit apalagi untuk mengenyam bangku sekolah, meskipun sekarang sudah yang namanya Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) tapi dana tersebut banyak di korupsi oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab. Faktor struktural juga merupakan faktor cukup memiliki
andil dalam menciptakan masyarakat buta huruf karena layanan pendidikan yang
jauh juga menjadi faktor seseorang menjadi buta aksara, contohnya saja di
daerah pedalaman atau daerah terpencil sangat jauh ke sekolah dasar sekalipun,
apalagi ke sekolah lanjutan. Mereka yang di daerah terpencil harus berangkat
pagi-pagi sekali atau jam lima pagi karena jarak rumahnya dengan sekolah sangat
jauh. Selain itu orang tua menganggap bahwa sekolah itu tidak penting.
Orang tua menganggap bahwa sekolah adalah
perbuatan yang sia-sia, tidak penting dan lebiih baik menyuruh anak mereka
untuk membantu berladang, berternak, berjualan,menggembalaa hewan, atau bahkan
mereka mereka menyuruh anak mereka untuk mengemis atau ngamen di jalan.
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 160
[2] Ensiklopedia Nasional Indonesia, “Aksara”, Jilid 1 (Cet. IV; Bekasi:
Delta Pamungkas, 2004), h. 216.
[3] Ibid, h. 215
[4] UNESCO, The Plurality
of Literacy and its implications for Policies and Programmes
(France: the United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization, 2004), h. 13.
[5] Kusnadi, dkk, Pendidikan Keaksaraan Filosofi, Strategi,
Implementasi, (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional direktorat Pendidikan Luar Sekolah Direktorat Pendidikan
Masyarakat, 2005), h. 36-47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar