Menurut UU Nomor 8 Tahun 1987 pasal 1 ayat 6 Tentang Protokol
bahwa tokoh masyarakat adalah seseorang yang karena kedudukan sosialnya
menerima kehormatan dari masyarakat dan/atau Pemerintah.[1]
Sedang pengertian tokoh masyarakat menurut UU Nomor 2 Tahun 2002 pasal 39 ayat
2 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) bahwa bahwa tokoh masyarakat
ialah pimpinan informal masyarakat yang telah terbukti menaruh perhatian
terhadap kepolisian.[2]
Untuk memahami dengan baik, siapa dan apa yang menyebabkan
seseorang disebut sebagai tokoh masyarakat paling tidak disebabkan oleh lima
hal yaitu:
Pertama,
kiprahnya di masyarakat sehingga yang bersangkutan ditokohkan oleh masyarakat
yang berada dilingkungannya. Dengan ketokohannya itu, maka masyarakat
memilihnya untuk menduduki posisi-posisi penting di masyarakat mulai dari ketua
RT, ketua RW, ketua organisasi kepemudaan, ketua masjid, pemimpin organisasi
kemasyarakatan yang berakar di masyarakat seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan
lain-lain, termasuk tokoh agama, tokoh adat, tokoh organisasi kedaerahan, tokoh
lingkungan, tokoh dari suatu kawasan, tokoh keturunan darah biru, tokoh
pekerja, tokoh pergerakan dan lain-lain. Dengan ketokohannya, ada yang
mencalonkan diri dan dicalonkan oleh partai politik untuk menjadi calon anggota
parlemen di semua tingkatan.
Kedua,
memiliki kedudukan formal di pemerintahan seperti Lurah/Wakil Lurah,
Camat/Wakil Camat, Walikota/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan
lain-lain. Karena memiliki kedudukan, maka sering blusukan dan bersama
masyarakat yang dipimpinnya. Ketokohannya menyebabkan dihormati, dipanuti,
diikuti, diteladani oleh masyarakat. Pemimpin formal semacam ini, pada suatu
waktu bisa disebut tokoh masyarakat, apakah masih memiliki jabatan/kedudukan
atau sudah pensiun/tidak lagi memiliki kedudukan formal.
Ketiga,
mempunyai ilmu yang tinggi dalam bidang tertentu atau dalam berbagai bidang
sehingga masyarakat dan pemimpin pemerintahan dari tingkatan paling bawah –
sampai ke atas selalu meminta pandangan dan nasihat kepadanya. Karena
kepakarannya, maka yang bersangkutan diberi kedudukan dan penghormatan yang
tinggi, kemudian disebut tokoh masyarakat.
Keempat,
ketua partai politik yang dekat masyarakat, rajin bersilaturahim kepada
masyarakat, menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat, suka
menolong masyarakat diminta atau tidak. Ketua partai politik seperti ini, dapat
disebut sebagai tokoh masyarakat.
Kelima,
usahawan/pengusaha yang rendah hati, suka berzakat, berinfak dan bersedekah,
peduli kepada masyarakat, serta suka bersilaturrahim, pada umumnya masyarakat
menyebut yang bersangkutan sebagai tokoh masyarakat.
Jadi, pada hakikatnya setiap orang adalah pemimpin. Tokoh
masyarakat dilingkungan masih – masing adalah pemimpin bagi kaumnya, seperti di
masa nabi dan rasul yang diutus oleh Allah untuk memimpin kaumnya. Bedanya,
kalau nabi dan rasul dipilih dan diutus oleh Tuhan untuk memimpin kaumnya yang
tersesat.[3]
Akan tetapi, tokoh
masyarakat seperti ketua RT dan ketua RW dipilih oleh masyarakat untuk
memimpin, membimbing, memandu dan menolong mereka, terutama yang berkaitan
dengan persoalan sehari – hari yang dihadapi oleh rakyat.
[2] Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 pasal 39 ayat 2 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, h. 22
[3] Musni Umar,
Tanggung Jawab Pemimpin dan Tokoh
Masyarakat terhadap Rakyat dan Pembangunan, musniumar.wordpress.com,
dipostkan 12 Juni 2013, diakses pada Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar