BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk istimewa yang diciptakan Allah SWT. Keistimewaan
manusia terletak pada potensi-potensi yang Allah berikan kepadanya. Baik itu
potensi yang berupa fisik ataupun non-fisik. Semua potensi fisik manusia
memiliki fungsi yang sangat luar biasa kegunaannya bagi keberlangsungan hidup
manusia itu sendiri, begitupun dengan potensi non-fisik yang terdiri atas: jiwa
(psyche), akal (ratio) dan rasa (sense).
Dengan potensi akalnya, manusia mampu menjadi mahluk yang lebih mulia kedudukannya
daripada mahluk lain. Allah telah mengaruniai manusia sebuah anugerah yang
mampu menjadikan manusia mahluk yang berbudaya. Berbeda dengan hewan yang tidak
mampu berbudaya dikarenakan hewan tidak memiliki akal. Dengan akalnya ini pula
manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta lingkungannya,
berefleksi tentang bagaimana ia sebagai seorang manusia memandang dunianya dan
bagaimana ia menata kehidupannya. Karena kemampuan dalam menggunakan nalarnya,
manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia-rahasia
kekuasaan-Nya. Contohnya para ilmuwan muslim seperti Al-Khawarizmi (825M) yang
mampu menyusun buku matematika aljabar dan arimetika yang kemudian di Eropa
menjadi jalan pembuka untuk menggunakan angka desimal yang menggantikan cara
penulisan dengan angka romawi. Ibnu Sina (980-1037) adalah bapak kedokteran
modern, ia menulis buku Al-Qonuun fi Ath-Thib (The Canon of Medicine) dan Kitab
Asy-Syifa’ (The Book of Healing) yang telah dijadikan bahan rujukan ahli-ahli
kedokteran modern. Ibnu al-Haitam (965-1040) seorang cendikiawan multidisiplin
ilmu yang menghasilkan karya besar Al-Manadhir (The Optic). Ibnu Ismail
Al-Jaziri (1136-1206), tokoh besar bidang mekanik dan industri ini berhasil
mengembangkan prinsip hidrolik untuk menggerakkan mesin yang dikenal sebagai
mesin robot.
Di dunia baratpun dikenal tokoh-tokoh ilmuwan yang telah menorehkan sejarah
emasnya bagi generasi penerus mereka. Sebut saja Newton (1643-1727) yang
berhasil menciptakan teori gravitasi, teorinya memberikan penjelasan yang luas
sekali tentang peristiwa-peristiwa fisika mulai dari ukuran molekuler sampai
ukuran astronomis. Selain itu, Newton juga berhasil menyusun perhitungan
kalkulus yang disebut diferensial integral. Alexander Abraham Bell (1847), sang
penemu telepon. Wilhelm Konrad Roentgen (1895) yang telah menemukan sinar X.
Thomas Alva Edison (1827-1931), penemu lampu pijar dan 3000 penemuan lainnya
yang sampai sekarang kegunaannya dapat kita rasakan. Dan masih banyak
tokoh-tokoh yang lainnya.
Lantas, bagaimana mereka mampu melakukan hal besar itu semua? Itu semua
tentunya mampu mereka capai karena mereka dapat mengoptimalkan potensi akal
yang Allah SWT berikan kepada mereka dan tentunya kepada kita juga. Dan salah
satu bidang keilmuan yang membelajarkan manusia untuk dapat mengoptimalkan
akalnya adalah Ilmu Filsafat. Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang
membutuhkan refleksi dan pemikiran sistematis-metodis dengan secara aktif
menggunakan intelek dan rasio kita. Oleh karena itu, melalui makalah ini akan
coba dipaparkan sebuah pengantar filsafat sebagai bekal dalam menuju dan
mengungkap rahasia terbesar yang tersimpan dalam akal kita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar-Dasar Kefilsafatan
Beberapa konsep penting tentang dasar kefilsafatan
yang akan dijelaskan dalam sub bab ini adalah: Pengertian filsafat; Ruang
lingkup atau Cabang-cabang filsafat; Kegunaan atau manfaat mempelajari
filsafat; Fungsi filsafat; Beberapa aliran filsafat; Filsafat sebagai suatu
pendekatan; Metode kefilsafatan; dan Etika. Penjelasan tentang dasar-dasar
kefilsafatan tersebut di atas bukan dimaksudkan untuk memberikan suatu uraian
yang sangat komprehensif atau menyeluruh, akan tetapi penjelasannya lebih
menekankan pada konsep-konsep kunci, yang diharapkan para mahasiswa atau
peminat studi filsafat ilmu memperoleh gambaran awal yang cukup membekali dalam
melakukan kajian-kajian lebih lanjut dan mendalam tentang hakikat filsafat dari
sumber-sumber ilmiah lainnya.
1.
Pengertian
Filsafat
Ketika orang berbicara tentang filsafat, nampak kesan
awal atau anggapan yang muncul adalah membicarakan sesuatu yang abstrak, yang
sulit dicermati, transendental, fantasi, renungan yang mendalam, imajinasi dan
sesuatu yang serba sulit dan luas (universal). Apabila dicermati dengan
sungguh-sungguh tentang makna filsafat, maka sejatinya pandangan tersebut di
atas tidak semuanya benar, karena: (a) objek kajian filsafat sejatinya
menyangkut hal-hal yang abstrak dan juga hal-hal yang kongkrit atau hal-hal
yang bersifat idea dan praktis; dan (b) ruang lingkup kajian ilmu filsafat juga
berkaitan dengan kehidupan individual dan kolektif manusia sehari-hari,
misalnya: keluarga, lembaga pendidikan; partai politik, pemerintahan dan
beragam bentuk aktivitas kelompok lainnya.
Dalam beberapa literatur
filsafat telah dijumpai beragam pengertian tentang filsafat. Keberagaman
tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang yang dijadikan sebagai dasar
orientasinya (Johnstone, 1968; Driyarkara, N. 1977). Dari beragam karya tulis
tentang filsafat, penulis dapat merangkum sebagai berikut: Pertama, pengertian
filsafat dari segi arti kata, yaitu ‘Filsafat’ berasal dari bahasa Yunani
terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang berarti
kebijaksanaan. Atau berasal dari kata ‘philosophia’ yang berarti ‘cinta akan
kebijaksanaan atau love of wisdom’. Jadi, pengertian filsafat dari arti kata
adalah ‘cinta pada kebijaksanaan’. Kedua, pengertian filsafat ‘secara umum’,
yaitu ‘suatu ilmu pengetahuan yang melakukan penyelidikan atau kajian tentang
hakikat dari segala sesuatu dengan sungguh-sungguh (penuh kecintaan) untuk
memperoleh kebenaran atau kebijaksanaan’. Jadi, jawaban-jawaban yang diberikan
oleh filsafat tentang hakikat fenomena hidup (sesuatu) harus bersifat mendalam
atau mencapai tingkat kebenaran yang lebih universal. Ketiga, pengertian
filsafat ‘secara khusus’, yaitu ‘suatu ilmu pengetahuan yang menyelidiki
tentang hakikat sesuatu untuk memperoleh kebenaran menurut aliran filsafat
tertentu’. Dalam filsafat terdapat beragam aliran, misalnya: aliran idealisme,
aliran positivisme, aliran materialisme, aliran hedonisme, aliran stoicisme dan
sebagainya. Jadi, pengertian hakikat sesuatu menurut aliran idealisme tentunya
tidak sama dengan hakikat sesuatu menurut aliran positivisme, hedonisme,
materialisme dan stoicisme (Langeved, 1961; Sunoto, 1982). Beragam aliran
filsafat tersebut akan dijelaskan secara garis besar atau prinsip-prinsip pokok
pada pembahasan berikutnya.Dari pengertian singkat tentang filsafat tersebut di
atas, konsep penting yang perlu dipahami tentang hakikat makna filsafat antara
lain: (a) filsafat adalah mendorong manusia untuk berpikir secara kritik; (b)
berpikir filsafat adalah berpikir dalam bentuk yang sistematis; (c) filsafat
harus menghasilkan sesuatu yang runtut; (d) berpikir filsafat adalah berpikir
secara rasional dan logis; dan (e) proses berpikir filsafat harus bersifat
mendalam dan komprehensif (Beerling, 1966; Kattsoff, L. 1996). Oleh karena itu
filsafat mempunyai peran yang sangat sentral dalam pengembangan semua disiplin
ilmu pengetahuan, sehingga filsafat diharapkan dijadikan sebagai pemimpin
(orientation) dalam pengembangan semua ilmu pengetahuan atau filsafat
berkedudukan sebagai induknya ilmu pengetahuan (Driyarkara, N. 1978).
2.
Ruang
Lingkup, dan Cabang-Cabang Filsafat
Ruang lingkup kajian filsafat sangatlah luas, karena
filsafat mengkaji tentang ‘hakikat segala sesuatu’, disamping itu filsafat
merupakan ‘induk segala ilmu pengetahuan’ (Beerling, 1966; Gazalba, 1973;
Drijarkara, 1978). Sedangkan pembagian cabang-cabang filsafat yang dikemukakan para ahli atau
para filosof sangat beragam, tergantung sudut pandang yang diyakininya. Berikut
ini beberapa pembagian cabang-cabang filsafat menurut para ahli antara lain:
Pertama, Plato,
membedakan filsafat menjadi tiga, yaitu: (1) Dialektika (filsafat tentang
ide-ide atau pengertian-pengertian umum); (2) Fisika (filsafat tentang dunia
material); dan (3) Etika (filsafat tentang kebaikan atau kesusilaan).
Kedua, Aristoteles,
membedakan filsafat menjadi empat, yaitu: (1) Logika (tentang bentuk susunan
pikiran); (2) Filosofis teoritika, yang terbagi menjadi: (a) fisika (tentang
dunia material); (b) matematika; (c) metafisika (tentang hakikat ‘ada’); (3)
Filosofia praktika (tentang hakikat hidup kesusilaan), yang terbagi menjadi:
(a) etika (tentang kesusilaan dalam hidup perseorangan); (b) ekonomia (tentang
kesusilaan dalam hidup berkeluarga); (c) politika (tentang kesusilaan dalam
hidup bernegara); dan (4) Filosofia poeletika (filsafat kesenian (Drijarkara,
1978).
Ketiga, Kattsoff, L.,
lebih rinci dalam membagi cabang-cabang filsafat, yaitu: (1) Logika, yaitu
membicarakan tentang hukum-hukum penyimpulan secara benar; (2) Metodologi,
yaitu membicarakan tentang teknik atau cara melakukan penelitian ilmiah; (3)
Metafisika, yaitu membicarakan tentang segala sesuatu yang ada, atau membahas
hakekat ‘ada’; (4) Ontologi, yaitu membicarakan tentang hakikat segala sesuatu
yang ada, atau hakikat ‘objek’ dari segala sesuatu; (5) Kosmologi, yaitu
membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang serba teratur; (6)
Epistemologi, yaitu membahas tentang hakikat kebenaran; (7) Filsafat biologi,
yaitu membicarakan tentang hakikat hidup; (8) Filsafat psikologi, yaitu
membicarakan tentang hakikat jiwa manusia; (9) Filsafat antropologi, yaitu
membicarakan tentang hakikat budaya manusia; (10) Filsafat sosiologi, yaitu
membicarakan tentang hakikat masyarakat dan negara; (11) Etika, yaitu
membicarakan tentang hakikat baik dan buruk; (12) Estetika, yaitu membicarakan
tentang hakikat indah atau keindahan; (13) Filsafat agama, yaitu membicarakan
tentang hakikat agama atau kepercayaan (Kattsoff, 1996).
Dalam perkembangan studi
filsafat berikutnya muncul cabang-cabang filsafat, sebagai konsekwensi dari
beragam spesifikasi kehidupan, sehingga selain beragam cabang filsafat yang
telah diuraikan di atas adalah muncul: (1) Filsafat politik, yang secara khusus
membicarakan tentang hakikat kekuasaan, wewenang, pemerintahan, demokrasi dan
sebagainya; (2) Filsafat hukum, yang secara khusus membicarakan tentang:
dasar-dasar hukum, idea hukum, kaidah hukum, tujuan hukum, rahasia-rahasia
hukum, peraturan perundang-undangan; (3) Filsafat pendidikan, yang membicarakan
tentang hakikat pendidikan dan pengajaran, fungsi pendidikan, peran orang
tua-masyarakat dan negara dalam pendidikan, hakikat proses pembelajaran budaya,
dan sebagainya; (4) Filsafat sejarah, yang secara khusus membicarakan tentang:
makna sejarah, proses historis, kaidah ilmu sejarah, subjektivitas dan
objektivitas sejarah, fungsi sejarah, dan sebagainya (Ankersmit, 1987).
3.
Filsafat Sebagai Suatu Pendekatan
Ditinjau dari aspek
ruang lingkup kajiannya, maka studi filsafat mempunyai jangkauan yang sangat
luas karena menyangkut hakikat segala sesuatu secara mendalam dan universal.
Disisi lain filsafat merupakan induknya segala ilmu pengetahuan. Filsafat
melatih, mendorong seseorang untuk mampu berpikir secara: kritis, logis,
sistematis, rasional, objektif dan mendalam dalam menganalisis hakikat segala
sesuatu tentang fenomena kehidupan ini, kesemuanya dilakukan dalam rangka
memperoleh kebenaran dan mencapai tujuan yaitu menjadi manusia yang bijaksana.
Filsafat sebagai suatu
pendekatan mempunyai makna, bahwa ‘memahami hakikat segala sesuatu dalam
kehidupan ini untuk meraih kebenaran dan kebijakan diperlukan pemahaman tentang
beberapa cara atau metode, langkah, dan strategi yang baik untuk mencapai
kebenaran terdalam tentang hakikat segala sesuatu tersebut’. Ada beberapa
pendekatan filosofis dalam memahami hakikat segala sesuatu terdalam dalam
kehidupan ini, antara lain:
a.
pendekatan ontologik,
Artinya untuk
mempelajari suatu objek filsafat tertentu (misalnya: filsafat hukum, filsafat
pendidikan, filsafat Pancasila, filsafat agama, filsafat sejarah, filsafat
politik, filsafat ilmu, filsafat seni dan sebagainya), atau untuk mencari
hakikat realitas yang terdalam, atau mencari hakikat objek terdalam dari segala
sesuatu;
b.
pendekatan kosmologik,
Artinya dalam
mempelajari suatu filsafat tertentu (seperti contoh di atas) adalah mencari
kebenaran segala sesuatu terdalam yang bekaitan dengan hakikat ruang, waktu dan
dinamika atau gerak dari hakikat segala sesuatu itu’;
c.
pendekatan logika,
artinya dalam
mempelajari suatu filsafat tertentu adalah dengan mencari hakikat kebenaran
dari segala sesuatu secara mendalam dengan menggunakan logika deduktif atau
logika formal dan menggunakan logika induktif atau logika material;
d.
pendekatan teologis,
artinya dalam
mempelajari suatu filsafat tertentu adalah dengan selalu mengkaitkan antara
fenomena rasional, empiris dan kekuatan supra natural (Tuhan). Hakikat
kebenaran itu sejatinya adalah terbagi dalam kategori kebenaran science (ilmu),
kebenaran filosofis (filsafat), dan kebenaran religious (kebanaran Agama),
ketiganya saling mengkait. Jadi, pendekatan teologis meletakkan kebenaran agama
sebagai kebenaran absolut (kebenaran mutlak), sedangkan kebenaran filsafat dan
kebenaran ilmu bersifat relatif, oleh karena itu ketika manusia ingin meraih
hakikat kebenaran (kebenaran mutlak) maka manusia harus taat kepada ajaran
agamanya.
e.
pendekatan etika,
artinya dalam
mempelajari suatu filsafat tertentu adalah dengan selalu mengkaitkan antara
kajian hakikat dari segala sesuatu terdalam dengan prinsip-prinsip nilai-norma
sosial-budaya yang berlaku di masyarakat, atau bagaimana kajian hakikat dari
segala sesuatu itu mempunyai makna aksiologis atau nilai pragmatis, nilai
fungsional dan mampu membentuk keunggulan etika manusia dalam proses kehidupan
di sepanjang usia hidupnya di masyarakat (Sunoto, 1982; Sudiarja, dkk. 2006).
Jadi, dalam pendekatan etika, manusia atau setiap individu dianggap bermakna
atau punya arti bagi kehidupan ketika seluruh pola perilaku sehari-hari
individu tersebut berdasarkan nilai-norma sosial budaya yang berlaku, sehingga
hakikat sesuatu dianggap baik atau benar ketika sesuatu itu merujuk pada nilai
dan norma yang berlaku.
4. Metode Kefilsafatan
Menurut Stephen C.
Pepper, dalam Sumaryono (1999), metode filsafat bukanlah metode
‘ketergantungan’ atau ‘kepastian’, melainkan lebih merupakan ‘metode
hipotesis’. Pepper menyebut metode filsafat yaitu ‘hipotesis filsafat’ sebagai ‘hipotesis
dunia’, yaitu ‘hipotesis yang sama sekali tidak mempunyai batas, dan yang
memperhitungkan semua kenyataan atau evidensi. Hipotesis dunia mencakup semua
hal, baik yang khusus atau yang abstrak sejauh hal itu mungkin ada. Jadi,
hipotesis filsafat (metode filsafat) berbeda dengan hipotesis ilmiah (bersifat
spesifik, pasti, dan harus bisa teruji secara empirik). Hipotesis filsafat
bersifat spekulatif, mendalam dan komprehensif (hakikat sesuatu).
Terdapat banyak definisi
tentang metode filsafat, namun berikut ini penulis dapat mengemukakan
pengertian yang cukup sederhana tentang metode filsafat, yaitu ‘cara kerja
filsafat dalam memahami hakikat terdalam tentang segala sesuatu dalam hidup
ini’. Menurut para ahli tidak ada metode tunggal yang dianggap paling benar dan
berlaku secara universal dalam memahami filsafat atau hakikat terdalam tentang
segala sesuatu dalam hidup ini. Setiap metode filsafat yang dikembangkan oleh
filosof pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh sudut pandang tertentu dan
kondisi jaman atau waktu dan tempat (lingkungan geografis), serta latar
belakang kehidupan sosial budaya atau politik, ekonomi yang dialaminya.
Ada beberapa macam
metode filsafat, antara lain: (a) metode kritis; (b) metode empiris; (c) metode
intuisi; (d) metode skolastik; (e) metode rasional; (f) metode eksperimental;
(g) metode kritis transendental; (h) metode dialektika; (i) metode
fenomenologi; dan (j) metode hermeneutik (Bakker, A., 1984; Sumaryono, 1999).
Berikut ini diuraikan pokok-pokok pikiran dari beberapa metode filsafat
tersebut secara singkat untuk membekali para pembaca dalam melakukan kajian
filsafat lebih lanjut pada sumber-sumber ilmiah.
a.
Metode kritis
Metode kritis. Tokoh
utama metode kritis adalah Sokrates (470-399 SM) dan muridnya yaitu Plato
(427-347 SM). Beberapa pokok pikiran ‘metode kritis’ Sokrates antara lain:
1.
Metode kritis merupakan analisis istilah dan pendapat
dalam proses dialog dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut fenomena
sosial atau fenomena alam.
2.
Metode kritis merupakan hermeneutika, yang menjelaskan
keyakinan, dan memperlihatkan pertentangan dalam dialog. Dengan jalan bertanya
atau berdialog secara kritis, seseorang dapat membedakan, membersihkan,
menyisihkan dan menolak sesuatu dan akhirnya ditemukan hakikat dari sesuatu.
3.
Disebut metode kritis karena manusia dituntut untuk terus
mempertanyatakan (mengkritisi) segala sesuatu yang disaksikan, dirasakan dengan
bertanya dan berdialog antar individu dalam proses kehidupannya.
4.
Sokrates, mengajarkan agar manusia selalu mengajukan
pertanyaan baru tentang segala sesuatu, ketika muncul jawaban dari pertanyaan
tersebut, maka harus terus dimunculkan pertanyaan lagi dari jawaban yang ada
(proses dialektika), demikian seterusnya. Jadi, dialektika itu menjadi suatu
pemeriksaan teliti, semacam cross examination, dengan membandingkan jawaban
dalam dialog.
5.
Menurut Sokrates, dengan terus menanyakan, membandingkan,
menyisihkan, dan menolak informasi atau data yang tidak relevan, seseorang akan
membuat rumusan, definisi dan generalisasi. Seseorang akan memperoleh
pengertian (definisi) sejati tentang hakikat kenyataan.
6. Bagi Sokrates, hakikat
‘kebijaksanaan’ adalah kesanggupan seseorang terus bertanya dan berdialog untuk
membuka hati-pikiran agar tetap mampu menerima pengetahuan sejati, yaitu
pengetahuan mengenai kebaikan susila atau ‘kebijaksanaan’ (sophrosyne).
Kebijaksanaan itu bukan diperoleh melalui hapalan dari diktat, melainkan
melalui proses pencarian pribadi dan pengalaman pribadi. Oleh karena itu manusia menjadi angry with himself
and gentle to others.
Sedangkan beberapa pokok
pikiran ‘metode kritis’ dari filosof Plato antara lain:
1.
Metode filosofis paling utama adalah dialog, dan
kemampuan berdialog merupakan seni manusiawi yang paling tinggi. Sebenarnya
metode Plato merupakan perluasan atau penyempurnaan metode kritis gurunya yaitu
Sokrates.
2.
Plato memperkenalkan dialog-dialog dengan menyebut
‘dialog tengah’ atau ‘metode hipotesis’.
3.
Menurut Plato, kebenaran umum (definisi) itu bukan dibuat
dengan cara dialog yang induktif (seperti pendapat Sokrates), pengertian umum
(definisi) itu sudah tersedia di ‘sana’ yaitu di ‘alam idea’.
4.
Hakikat esensi itu mempunyai realitas, dan realitas itu
di ‘alam idea’ itu. Jadi, kebenaran umum itu bukan dibuat tetapi sudah ada di
alam idea. Sebenarnya baik Plato maupun gurunya yaitu Sokrates sama-sama
mengakui kekuatan akal (reason) dan kekuatan hati (rasa dan larsa) (Tafsir, A.,
2003).
b.
Metode empiris
Metode empiris. Tokoh
utama metode empiris adalah Aristoteles (384 SM). Aristoteles merupakan murid
dan teman Plato, tetapi warna filsafat Aristoteles berbeda dengan Sokrates dan
Plato. Aristoteles lebih sistematis dan sangat dipengaruhi oleh metode empiris,
dia dikenal sebagai Bapak logika, dan logika Aristoteles sering disebut logika
formal. Beberapa pokok pikiran Aristoteles antara lain:
a.
Prinsip-prinsip ajaran Aristoteles menyangkut banyak
aspek, yaitu prinsip-prinsip sains, politik, retorika, dan dialektika.
b.
Aristoteles sangat tertarik kepada natural sciences
(ilmu-ilmu alam), oleh karena itu ia mementingkan observasi ilmiah (metode
empiris).
c.
Bagi Aristoteles, manusia dapat mencapai kebenaran
ilmiah. Setiap objek terdiri atas matter dan form, keduanya bisa bersatu (hal
ini yang membedakan dengan Plato, yang menganggap matter dan form tidak bisa
bersatu). Matter itu potentiality atau potensial (memberikan substansi
sesuatu), sedangkan form itu aktualitas (memberikan pembungkusnya). Tetapi ada substansi yang ‘murni form’ tanpa
potentiality (tanpa matter) yaitu Tuhan. Menurut Aristoteles bukti adanya Tuhan
adalah ‘Tuhan sebagai penyebab gerak’ (a first cause of movement). Eksistensi Tuhan dapat
dicapai dengan akal. Jadi, Aristoteles filosof yang mampu mengakhiri
pertentangan antara akal dan hati (iman). Kekuasaan akal mulai dibatasi, ada
kebenaran yang umum. Tidak semua kebenaran itu relatif. Sains dapat dipegang
sebagian dan diperselisihkan sebagian.
d.
Metode empiris Aristoletes telah meletakkan dasar-dasar
sains dan logika formal atau logika deduktif (Tafsir, A. 2003). Baca kembali
tentang logika formal pada bab sebelumnya. Metode empiris inilah yang nantinya
menghasilkan aliran atau paham empirisme dalam filsafat.
c.
Metode intuisi
Metode intuisi. Tokoh
utama metode intuisi atau intuitif adalah Plotinos (204-270) dan Henri Bergson
(1859-1941). Sedangkan pokok-pokok pikiran Plotinos tentang mentode intuisi
antara lain:
1.
Pandangan Plotinos pada dasarnya merupakan suatu
kulminasi atau sintesa definitif dari beragam unsur filsafat Yunani. Plotinos
mengaku penganut setia pandangan Plato, tetapi sebenarnya pandangan Plotinos
adalah integrasi dari filsafat Plato, Aristoteles, Stoa dan
Neo-Pythagoreanisme.
2.
Metode Plotinos dalam filsafat disebut ‘intuitif’ atau
‘mistik’. Pola pemikiran Plotinos sangat diwarnai oleh kondisi jaman waktu itu
yang banyak dijumpai kelompok-kelompok kontemplasi atau ‘mistik’. Sikap
kontemplasi demikian meresapi seluruh metode berpikir pada metode intuisi
Plotinos.
3.
Plotinos dianggap filosof pertama yang mengajukan teori
penciptaan alam semesta dengan mengajukan ‘teori emanasi’. Tujuan filsafat
menurut Plotinos adalah mencapai pemahaman mistik, oleh karena itu metode
intuisi ada yang menyamakan dengan metode ‘mistik’.
4.
Plotinos termasuk filosof yang menganut realitas idea,
seperti Plato, hanya Plotinos kurang memperhatikan masalah-masalah sosial
seperti Plato. Sistem metafisika Plotinos ditandai oleh konsep transendens atau
mistik
5.
Menurut Plotinos, di dalam pikiran manusia terdapat tiga
realitas, yaitu: (1) The One (Yang Esa, yaitu Tuhan). The One itu tidak dapat
didekati melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami melalui pemikiran logis;
(2) The Mind atau Nous (idea-idea). Idea-Idea ini merupakan bentuk asli
objek-objek. Kandungan Mind adalah benar-benar kesatuan. Untuk bisa menghayati
Mind manusia harus melalui perenungan terdalam dalam hidupnya; dan (3) The
Soul, yaitu realitas ketiga dalam filsafat Plotinos. Soul itu mengandung satu
jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek,
yaitu energi di belakang dunia, dan bentuk-bentuk alam semesta. Jiwa manusia
juga mempunyai dua bentuk, yaitu intelek yang tunduk pada reinkarnasi dan
irasional (moral) (Mangunhardjana, 1997; Tafsir, A. 2003).
Sedangkan Henri Bergson
adalah filosof yang tertarik pada pandangan Plotinos. Sedangkan pokok-pokok
pikiran Bergson tentang metode intuisi antara lain:
1.
Semua yang ada dalam kehidupan manusia adalah berakar
pada dorongan hidup I’elan vital, karena pada diri manusia terdapat ‘vitalitas
naluri dan biologis’. Tetapi hal yang paling kunci adalah ‘vitalitas
spiritual’, oleh karena itu filsafat Henri Bergson bersifat spiritualistis.
2.
Bergson menyelami kegiatan spiritual intern di dalam
individu kongkrit, dengan cara ilmiah, yaitu cara atau metode yang dapat
dipertanggungjawabkan (tidak seperti Plotinus yang mistik).
3.
Dinamik kosmis hanya dapat dipahami, kalau manusia menyelam
dan membiarkan diri tenggelam dalam arus kesadaran yang terdalam (tak
putus-putus).
4.
Intuisi itu bukan saja suatu flash of insight yang
mustahil diekspresikan, melainkan suatu act, merupakan suatu asaha mental dan
konsentrasi pikiran. Pengalaman batiniah itu harus diuraikan oleh akal budi
seakan-akan mengerti dari ‘luar’.
5.
Untuk mencairkan konsep-konsep dan untuk mengarahkan
‘visi’ dan ‘intuisi’ Bergson menggunakan banyak simbol. Simbol-simol itu tidak
mematikan gerak. Simbol itu mempunyai dua peranan, yaitu: (1) simbol itu
menampakkan realitas tersembunyi; dan (2) simbol-simbol yang mempunyai peran
sebaliknya. Metode Bergson bukan anti-intelektual, tetapi supra-intelektual
(Bakker, A., 1984).
d.
Metode skolastik
Metode skolastik.
Filsafat skolastik terutama dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan
keuskupan. Diantara ciri utama metode filsafat skolastik antara lain: (1)
filsafat menjadi bagian integral dalam teologi; (2) para filosof utama yang
mengajarkan integrasi filsafat dengan agama adalah para imam dan biarawan; dan
(3) mementingkan otonomi atau mendasarkan akal budi manusia dan mengkaji
hakikat kehadiran manusia di dunia. Meskipun filsafat skolastik menyatukan
antara filsafat dengan teologi, dia tidak sama dengan pandangan-pandangan
sebelumnya tentang eksistensi Tuhan. Filsafat skolastik dengan tokoh utamanya
Thomas Aquinas menjelaskan eksistensi Tuhan secara rasional, sedangkan
pandangan teologi sebelumnya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan banyak diwarnai
oleh pemikiran mistik atau tidak rasional (Bakker, A., 1984).
Pokok-pokok pikiran dari
filosof Thomas Aquinas (1225-1274) antara lain:
1.
Hanya ada dua kekuatan yang menggerakkan dinamika
perubahan dunia, yaitu agama dan filsafat. Keduanya mempunyai hubungan yang
sangat erat. Tuhan bagi Aquinas adalah Awal dan Akhir segala kebajikan.
2.
Hakikat alam semesta ini adalah terdiri dari lima
realitas kelas, yaitu: realitas anorganis, realitas animal, realitas manusia,
realitas malaikat, dan realitas Tuhan. Dan semua realitas tersebut berpusat
atau dibimbing oleh realitas Tuhan.
3.
Filsafat Aquinas mendasarkan kepada eksistensi Tuhan,
tetapi pandangannya tentang eksisitensi Tuhan berbeda dengan teolog sebelumnya.
Menurut Aquinas eksistensi Tuhan dapat dibuktikan dengan akal (rasional).
Ada empat dalil yang
memperkuat pendapat Aquinas di atas, yaitu: (1) hakikat segala sesuatu di alam
ini bergerak, dan sejatinya penggerak itu bukan benda yang bergerak, tetapi ada
Sang Penggerak Tunggal itulah Tuhan; (2) di dunia indrawi manusia terbukti ada
sebab yang mencukupi (efficient cause) (misalnya kebutuhan indra mata, dan
sebagainya). Secara rasional tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada
dirinya sendiri. Jadi, ada Sumber
Penyebab itulah Tuhan; (3) logika kemungkinan dan keharusan (possibility and
necessity). Di dunia ini hakikat segala sesuatu itu bisa mungkin ada
(possibility) dan harus ada (necessity). Penyebab yang harus ada itulah Tuhan;
dan (4) tentang hukum keteraturan alam. Manusia menyaksikan benda planet dalam sistem tata
surya dan benda-benda di alam ini bergerak dalam hukum keteraturan, padahal
benda-benda tersebut tidak mempunyai akal atau pengetahuan untuk bergerak
menuju keteraturan. Hal ini tentu membuktikan adanya Sang Pengatur Tunggal
itulah Tuhan.
4.
Pandangan Aquinas tentang Jiwa (intuisi), yaitu: (1) manusia
terdiri dari jiwa dan raga. Raga menghadirkan matter (potensial) sedangkan jiwa
menghadirkan form (aktualitas atau prinsip-prinsip hidup yang aktual); (2) jiwa
adalah kapasitas intelektual (pikir) dan kegiatan vital kejiwaan lainnya.
Manusia adalah makhluk berakal. Jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi dari
raga, sehingga jiwa harus membimbing raga (fisik). Jiwa rasional merupakan
manifestasi kehidupan tertinggi; (3) jiwa manusia dibagi menjadi tiga
kemampuan, yaitu: kemampuan mengindera (sensation), kemampuan pikir (reason),
dan kemampuan nafsu (appetite), ketiganya menyatu dalam diri manusia. (Tafsir,
A. 2003). Jiwa tersebut merupakan anugerah Tuhan, yang membedakan manusia
dengan mahluk lain.
e.
Metode rasional
Metode rasional. Tokoh
utama metode geometris atau rasional modern adalah Rene Descartes (1596-1650),
dia adalah pendiri pemikiran modern atau tokoh besar dalam filsafat
rasionalisme, atau disebut sebagai ‘Bapak’ filsafat modern. Descartes menyadari
adanya jurang antara filsafat Aristoteles dengan orientasi ilmiah baru.
Beberapa pokok pikiran Descartes antara lain:
1.
Akal (reason) adalah alat paling dasar dalam memperoleh
pengetahuan (science) dan menguji science serta untuk berpikir filsafat secara
rasional. Sedangkan alat reason dalam berpikir adalah kaidah-kaidah logis
(logika).
2.
Rasionalisme dalam filsafat adalah sangat berguna sebagai
teori pengetahuan (science). Rasionalisme berpendapat bahwa pengetahuan itu
datang dari penemuan akal atau berpikir logis (logika) (rasionalisme lawan dari
empirisme, yang menganggap pengetahuan berasal dari pengalaman-pengalaman
nyata, bukan dari logika). Jadi, dasar filsafat haruslah rasio (akal).
3.
Menurut Descartes, basis (dasar) bagi filsafat itu bukan
filsafat Sokrates-Plato (Filsafat Yunani kuno atau Ancient philosophy), bukan
filsafat abad pertengahan (middle ages philosophy), dan bukan filsafat agama
(religious philosophy), tetapi pondasi filsafat adalah ‘aku yang berpikir’.
Jadi, ketika saya berpikir adalah saya ada atau benar-benar ada.
4.
Descartes membangun kerangka berpikir dari ‘keraguan’
terhadap sesuatu, dari ‘keraguan’ terus berpikir logis menuju ke ‘kepastian’
untuk menemukan ‘keyakinan’ yang berada di balik keraguan itu, ketika keyakinan
itu begitu jelas dan pasti (clear and distinct) akhirnya diperoleh ‘keyakinan
yang sempurna, yang disebut truths of reason. Jadi, akal (reason) itulah basis (dasar) yang terpenting dalam
berfilsafat. Filsafat Descartes ini disebut filsafat modern (modern
philosophy). Tokoh atau filosof lain yang mendukung Descartes adalah Spinoza
(1632-1677), Leibniz (1646-1716), dan Hobbes (Peursen,C.A. 1980; Tafsir, A.
2003). Metode
rasional inilah yang nantinya menghasilkan aliran atau paham rasionalisme dalam
studi filsafat.
f.
Metode eksperimental
Metode eksperimental.
Tokoh metode eksperimental adalah David Hume ((1711-1776). Sedangkan
pokok-pokok pikiran Hume tentang pandangan eksperimentalnya antara lain:
1.
Semua ilmu berhubungan dengan hakekat manusia. Semua
pengertian dan kepastian berasal dari observasi tingkah laku dan introspeksi tentang
proses-proses psikologis.
2.
Sikap objektif tanpa prasangka merupakan syarat mutlak
bagi sikap ilmiah yang benar, untuk mencapai hal itu manusia harus menggunakan
‘skeptis secara metodis’, yaitu dengan cara menangguhkan segala pendapat
tentang sesuatu dengan mengajukan pertanyaan terlebih dahulu atau sanggahan
(kontra) terhadap pendapat terdahulu. Hal ini memunculkan paham skeptisisme.
3.
Ada dua macam penalaran yang berkaitan dengan lingkup
kajian dan pengertian ilmiah, yaitu: (1) pemikiran abstrak tentang kuantitas
(angka); dan (2) pemikiran eksperimental mengenai fakta dan eksistensi. Selain
dari kedua pemikiran tersebut dianggap tidak ilmiah. Satu-satunya sumber bagi
segala pengertian filosofis adalah ‘pengalaman inderawi’.
4.
Aspek progresif dalam metode Hume adalah bergerak dari
yang sederhana menuju yang kompleks (sintesa), disisi lain metode Hume juga
bergerak dari pengalaman menuju ke pengertian (induksi ala geometri).
Pengalaman-pengalaman itu membentuk suatu ‘impresi’ (kesan umum), dari impresi
itu dibentuk ide yang sederhana, contoh, impresi sederhana tentang warna merah
akan menghasilkan ide sederhana tentang warna merah, contoh impresi kompleks
tentang ‘metropolis’ akan menghasilkan ide yang kompleks tentang metropolis.
Jadi, impresi dan ide itu menyatu dalam imajinasi.
5.
Ide-ide yang sah adalah yang dibentuk melalui jalan
perbandingan dan kombinasi antar ide, yang umumnya disebut ‘ide-ide umum
abstrak’.
6.
Meskipun ide-ide tadi telah dilakukan perbandingan dan
kombinasi, manusia harus tetap mempertanyakan apakah ide tersebut bisa
dipertanggungjawabkan. Apakah ide-ide kompleks itu ada kesesuaian dengan
ide-ide primer (ide sederhana) yang mengkonstituirnya. Menurut Hume, banyak
suatu yang menjadi keyakinan seseorang tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya (Bakker, A. 1984).
g.
Metode kritisisme
Metode kritisisme
(kritis transendental). Tokoh utama metode kritis atau aliran kritisisme adalah
Immanuel Kant (1724-1804), dia menilai bahwa abad ke 18 di Jerman mengalami
masa atau era ‘Aufklarung’ atau jaman pencerahan. Beberapa pokok pikiran
Immanuel Kant tentang metode kritis atau aliran kritisisme antara lain:
1.
Kritisisme melakukan penyelidikan tentang batas-batas
kemampuan rasio sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jadi, kritisisme berbeda
dengan filsafat rasionalisme sebelumnya yang mengakui kemampuan rasio secara
mutlak.
2.
Kritisisme Kant memandang bahwa: (1) objek pengenalan itu
berpusat pada subjek dan bukan pada objek semata (subjek dan objek); (2)
kemampuan rasio manusia itu terbatas untuk mengetahui realitas atau hakikat
realitas atau sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejala atau fenomena dari
realitas; (3) pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh dari perpaduan
antara apriori (berasal dari rasio dan kondisi objektif ruang dan waktu) dan
aposteriori (berasal dari pengalaman yang berupa materi dan bersifat
subjektif).
3.
Tujuan kritisisme Kant adalah memugar sifat objektivisme
dunia ilmu pengetahuan yang bersumber dari rasionalisme; dan memugar sifat
subjektivisme dunia ilmu pengetahuan yang berumber dari empirisme. Oleh karena
itu bagi Kant, syarat dasar bagi semua ilmu pengetahuan adalah dua hal yaitu:
(1) bersifat umum, mutlak, objektif; dan (2) memberi pengetahuan yang baru
berdasarkan realitas empiris. Jadi, objektivisme (rasionalisme) dan subjektivisme
(empirisme) adalah dua sisi yang saling mengisi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.
4.
Kritisisme Kant, mencoba mendamaikan antara rasionalisme
(apriori) dengan empirisme (aposteriori). Kritisisme Kant berusaha menjelaskan
bahwa pengalaman manusia merupakan sintesa dari unsur apriori dengan unsur
aposteriori, keduanya saling mengisi dan saling memberi makna kehidupan.
5.
Tentang peran atau tugas ‘akal budi’ menurut Kant adalah
menciptakan putusan-putusan, oleh karena itu pengenalan akal budi adalah hasil
sintesa dari ‘bentuk’ atau kategori (apriori) dan ‘materi’ (aposteriori atau
data-data inderawi).
6.
Taraf rasio bagi Kant adalah, bahwa rasio membentuk
argumentasi-argumentasi yang dibimbing oleh tiga ide, yaitu: jiwa, dunia, dan
Allah. Ide bagi Kant adalah ‘suatu cita-cita yang menjamin adanya kesatuan
terakhir dalam bidang: (1) gejala-gejala psikis (jiwa); (2) kejadian-kejadian
jasmani (dunia); dan (3) gejala-gejala hakikat Ada (Allah/ Tuhan)’. Menurut
Kant, apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis (apriori) harus
diandaikan atas dasar rasio praktis (aposteriori). Tetapi tentang kebebasan
kehendak, immoralitas jiwa dan adanya Tuhan menurut Kant manusia tidak mempunyai
pengetahuan teoritis.
7.
Kant berkesimpulan, bahwa kenyataan itu lebih luas daripada
apa yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh manusia, dan Kant
berusaha membangun metafisika baru. Metafisika baru itu berdasarkan perpaduan
keberadaan objektivisme atau rasionalisme dengan keberadaan subjektivisme
(empirisme) yang tidak saling menafikan, tetapi saling mengisi dan
menyempurnakan dalam memahami hakikat suatu fenomena (Bakker, 1984;
Praja.J.S.,2005).
h.
Metode dialektika
Metode dialektika, tokoh
utama metode atau aliran dialektika adalah George Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831). Beberapa pokok pikiran filsafat Hegel tentang metode dialektika
antara lain:
a.
Tentang Budi, ‘Budi’ memegang peran penting dalam proses
sejarah kehidupan. Budi itu aktif dalam dua bidang, yaitu: (1) sebagai ‘roh
objektif’, maka budi menguasai hal-hal dalam realitas objektif, yang bersifat
tertib, teratur mengikuti hukum alam (unsur apriori), memberi bentuk yang
jelas; dan (2) sebagai ‘roh subjektif’, maka potensi budi berperan untuk
mengusai dirinya dan dapat mencari jalan di tengah-tengah kenyataan, memberi
isi. Atau roh subjektif itu berkaitan dengan akal budi subjek yang tahu (unsur
aposteriori).
Menurut Hegel, bahwa
identifikasi antara ‘roh objektif’ dan ‘roh subjektif’ berlangsung terus
menerus (suatu proses sejarah). Jadi, proses sejarah kehidupan mengandung dua
aspek (roh objektif dan roh subjektif), keduanya saling koeksistensi,
tindih-menindih, saling mencerminkan, saling berjumpa dalam sintesa tertinggi
yang disebut ‘Roh Mutlak’, ketika roh mutlak tercapai maka sejarahpun tamat.
Menurut Hegel, sejarah merupakan suatu gerak menuju sebuah tujuan yang bersifat
teleologis. Dalam filsafat Hegel, unsur formal (objektif atau apriori) hampir
tidak dapat dipisahkan dari unsur material (subjektif atau aposteriori) (Ankersmit.
1987).
b.
Tentang Dialektika. Menurut Hegel, dialektika adalah
‘susunan logis yang menunjukkan bagaimana dalam perkembangan proses sejarah itu
identifikasi diri Roh atau ‘Budi terjadi’. Dasar dialektika Hegel adalah
‘penyangkalan setiap penegasan’. Bagi Hegel, setiap konsep menimbulkan konsep
yang berlawanan, atau setiap pengertian seolah-olah tercermin dalam lawannya.
Jadi, dialektika Hegel selalu secara positif berbicara mengenai negasi atau
penyangkalan. Contoh dialektika Hegel: pria bukan wanita; absolut bukan
relatif; makhluk (ciptaan) bukan khalik (pencipta); baik bukan buruk; ide bukan
alam (materi); beragam bukan satu; universal bukan singular; aktif bukan pasif,
dan seterusnya.
Bagi Hegel, kontradiksi
merupakan ‘motor’ dialektika. Pola berpikir kontradiksi (dialektika) merupakan
jalan utama atau tahap mutlak yang harus dialami untuk mencapai kebenaran.
Kontradiksi (dialektika) itu benar-benar nyata, tetapi kontradiksi itu bukan
menurut arti logika formal semata, kontradiksi itu menandakan kekuranglengkapan
konseptual, dan ditemukan terutama di kategori-kategori rendah (realitas
kongkrit). Jadi, metode Hegel adalah dialektika antara konsep murni (apriori
atau formal) dan fakta kongkrit (aposteriori atau material) yang menyatu dalam
sintesis (Bakker, A., 1984).
c.
Hegel termasuk seorang filosof yang menganut aliran
idealisme. Bagi Hegel kenyataan identik dengan pikiran seseorang tentang
kenyataan itu. Namun perlu dipahami pandangan Hegel tentang idealisme, bahwa
‘idealisme bukan menjadi titik tolak atau dasar utama dari segala sesuatu, melainkan
hasil atau tugas yang diberikan oleh pikiran (rasional) manusia’. Idealisme
menurut Hegel akan mencapai perwujudannya yang paripurna ketika Roh Subjektif
dan Roh Objektif melaksanakan identifikasi diri secara timbal balik (saling
mengisi) di dalam Roh Mutlak. Proses saling mengisi antara Roh Subjektif dan
Roh Objektif adalah merupakan proses sejarah (proses kehidupan), adapun sifat
dari proses sejarah tersebut adalah dialektis (Ankersmit. 1987).
i.
Metode fenomenologi
Metode fenomenologi.
Tokoh metode atau aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938).
Beberapa pokok pikiran Husserl tentang fenomenologi antara lain:
1.
Husserl menolak sikap ‘scientisme’, yang menghadapi
fenomena hidup (gejala kehidupan) dengan menggunakan metode eksakta
(kuantitatif). Bagi Husserl, objek pertama bagi filsafat bukan dari ‘pengertian
hasil rasionalistik’ tentang kenyataan, tetapi dari kenyataan itu sendiri.
2.
Menurut Husserl, dunia sekitar manusia itu ‘berada’,
adalah tergantung oleh proses terjadinya hubungan ‘antar subjektivitas
transendental’ dalam komunitas antar individu yang ada dalam komunitas
tersebut.
3.
Metode Husserl disebut metode fenomenologi, dengan
beberapa ciri antara lain: (1) titik tolak metodenya dalam objek dan subjek.
Untuk mencapai objek pengertian menurut keasliannya harus dilakukan metode
reduksi (pembersihan) dari unsur-unsur yang tidak nyata, misalnya membersihkan
pengertian tentang sesuatu dari unsur-unsur tradisi, manusia harus otonom.
Jadi, yang dimaksud metode reduksi adalah ‘penundaan segala pengetahuan yang
ada tentang objek sebelum pengamatan intuisi dilakukan berulang-ulang’; (2)
objek penyelidikan adalah ‘fenomena’ atau gejala. Fenomena itu adalah data dari
gejala yang sederhana, tanpa ditambah hal lain (apa adanya); (3) fenomena alam
itu fakta (relasi) yang dapat diterapkan dalam observasi empiris, tetapi
fenomenologi Husserl juga dapat berupa pandangan ‘rohani’, namun fenomenologi
Husserl tidak sama dengan fenomenologi agama; (4) ‘metode reduksi’ merupakan
salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui
sesuatu, seorang fenomenologis harus bersikap netral atau otonom (tidak
terpengaruh) dari teori atau pandangan yang telah ada, artinya diberi
kesempatan ‘berbicara tentang dirinya sendiri’.
4.
Ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas
fenomena dalam pendekatan fenomenologis, yaitu: (1) reduksi fenomenologis,
maksudnya adalah apa yang kita lihat tentang segala sesuatu (misalnya ‘X’)
dalam kehidupan sehari-hari kita yakini sebagai kenyataan. Akan tetapi, karena yang
dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya (di
balik kenyataan ‘X’ yang nampak), dan pemahaman dibalik yang nampak hanya dapat
dicapai dengan ‘mengalami secara intuitif’, maka apa yang kita anggap sebagai
realitas dalam pandangan mata itu untuk sementara harus ‘ditinggalkan’, ‘segala
subjektivitas disingkirkan’, ‘dibebaskan dari teori-teori yang ada’, sehingga
yang muncul dalam kesadaran adalah ‘fenomena itu sendiri’ (hal ini disebut
reduksi fenomenologis); (2) reduksi eidetis (inti sari), maksudnya adalah
dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek dan profil dalam fenomena yang hanya
kebetulan dikesampingkan (karena aspek dan profil tersebut tidak menggambarkan
objek secara utuh). Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil
yang tiada terhingga. Hakikat (realitas) yang dicari dalam reduksi eidetis
adalah struktur dasar yang fundamental dan hakiki. Dalam reduksi eidetis
memberlakukan kriteria kohersi, artinya, pengamatan yang terus menerus terhadap
objek harus bisa dipadukan dalam suatu horison yang konsisten; dan (3) reduksi
fenomenologi transendental. Reduksi ini tidak lagi mengenai objek, atau
fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi
ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri
dalam kesadaran. Kesadaran dalam fenomenologi transendental, bukan kesadaran
empiris (bendawi) lagi, melainkan kesadaran yang bersifat murni atau
transendental, yaitu sebagai ‘subjektivitas’ atau ‘aku transendental’. Dari
reduksi fenomenologi transendental inilah yang menyebabkan Husserl oleh para
ahli dikategorikan penganut aliran idealisme (Rossides, 1978)
5.
Tujuan dari adanya ketiga reduksi tersebut adalah
menemukan bagaimana objek dikonstitusi dengan fenomena asli dalam kesadaran.
Namun para fenomenolog (murid-murid Husserl) lebih banyak menggunakan reduksi
fenomenologi (tidak menggunakan reduksi fenomenologi transendental).
Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa ketiga reduksi tersebut memberikan kejelasan bahwa
metode fenomenologi itu menutut ‘manusia tidak begitu saja menerima pengertian
dan rumusan tentang sesuatu hal dari teori atau pandangan sebelumnya, karena
pengertian atau pemahaman tersebut belum menyentuh hakikat dari apa yang kita
tuju. Pandangan atau pengertian pertama tentang sesuatu perlu dilanjutkan pada
pandangan kedua untuk menghilangkan tabir yang menghalangi pada pandangan
pertama, pandangan kedua untuk menemukan hakikat objek’. Metode fenomenologi
ini di era sekarang banyak dipakai dalam studi filsafat, sosial budaya,
ideologi, dan politik (Praja, J.S., 2005).
j.
Metode hermeneutik
Secara etimologis, kata
hermeneutik berasal dari bahasa Yunani ‘hermeneuein’ yang berarti
‘menafsirkan’. Jadi, metode hermeneutik bisa diartikan sebagai ‘metode penafsiran
atau metode interpretasi’. Tokoh-tokoh dari metode hermeneutik antara lain
Schleiermacher (lahir di Breslau 1768); Wilhelm Dilthey (lahir di Jerman 1833);
Jurgen Habermas (lahir di Jerman 1929); Paul Ricoeur (lahir di Perancis 1913);
dan Jacques Derrida (lahir di Aljazair 1930), dan sebagainya. Ada beberapa
konsep tentang metode hermeneutik dalam studi filsafat antara lain:
a.
Pada hakikatnya semua ilmu-ilmu pengetahuan tentang
kehidupan (life sciences) adalah memerlukan metode hermeneutik (cara penafsiran
atau interpretasi). Karena setiap pengetahuan selalu bersentuhan dengan
pengalaman, dan setiap pengalaman hidup akan diungkap dengan bahasa, dan sering
bahasa yang digunakan untuk menjelaskan pengalaman tersebut harus ditafsirkan
agar bisa dimengerti oleh orang lain.
b.
Semua objek dalam hidup ini pada dasarnya adalah netral
(objek adalah objek), yang memberi ‘arti, fungsi dan makna’ suatu objek adalah
subjek (manusia). Suatu benda tertentu ‘X’ (objek) punya arti atau makna
tertentu karena subjek (manusia) yang manaruh perhatian atau memberi arti dan
makna terhadap ‘X’ tersebut. Jadi, peran ‘penafsiran atau interpretasi’
seseorang tentang sesuatu adalah kunci dalam proses hidup. Kadar kebenaran dari
sesuatu hal sangat ditentukan oleh kualitas penafsiran atau interpretasi
terhadap sesuatu tersebut.
c.
Semua interpretasi atau penafsiran mencakup ‘pemahaman’,
namun sifat pemahaman itu sangat kompleks dan luas. Oleh karena itu manusia
tidak bisa memastikan kapan sebenarnya seseorang itu mulai mengerti tentang sesuatu.
Untuk dapat membuat interpretasi (penafsiran) manusia harus lebih dahulu
mengerti (understand) atau memahami (comprehend) tentang sesuatu. Dan seseorang
akan mengerti atau memahami sesuatu dengan sungguh-sungguh harus berdasarkan
pengetahuan yang benar (correct), dari pengetahuan dan interpretasi yang benar
kemudian manusia merekonstruksi.
d.
Seseorang yang melakukan penafsiran (interpretasi) tidak
boleh bersifat pasif, ia harus merekonstruksi ‘makna’ dibalik fenomena. Alat
atau media dalam melakukan rekonstruksi fenomena adalah: cakrawala intelektual
penafsir dalam menganalisis suatu fenomena; pengalaman historis penafsir; latar
belakang sosial budaya penafsir; dan kemampuan bahasa untuk mengkomunikasikan
hasil interpretasi.
e.
Metode hermeneutik, menegaskan bahwa manusia autentik
selalu dilihat dalam konteks waktu dan ruang (time and space) dimana manusia
sendiri mengalami dan menghayatinya. Artinya, memahami manusia dengan segala
pola perilakunya hanya bisa dilakukan dengan cara ‘memahami situasi sosal-budaya
dan lingkungan sehari-harinya dimana manusia itu hidup’.
f.
Hermeneutik sebagai metode studi filsafat, mempunyai
sifat dasar yaitu ‘luwes’ sesuai dengan perkembangan jaman dan bersifat
open-mindedness. Cara kerja hermeneutik dalam memahami fenomena hidup adalah
lebih menekankan pada penafsiran atau interpretasi yang berbasis pada ‘manusia
yang mengalami’ atau ‘individu dalam situasinya’ sendiri (Sumaryono, 1999).
B.
Hakikat Ontologi Filsafat
Ontologi adalah
membicarakan tentang hakikat objek, hakikat ‘apa’, hakikat ‘segala sesuatu’.
Jadi, hakikat ontologi filsafat adalah ‘membicarakan tentang hakikat objek
filsafat, atau hakikat tentang ‘apa’ filsafat itu, atau hakikat filsafat itu
sendiri, atau hakikat ‘segala sesuatu’, atau struktur filsafat’. Sebagaimana yang
telah diuraikan di atas tentang pengertian dan ruang lingkup studi filsafat,
bahwa filsafat mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan mengkaji tentang
hakikat segala sesuatu tentang fenomena hidup ini secara mendalam, integral dan
universal.
Ontologi filsafat
sejatinya menyangkut semua hakikat objek filsafat, sehingga meliputi pula jenis
atau cabang filsafat, misalnya: Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Etika,
Estetika, Filsafat Hukum, Filsafat Pendidikan, Filsafat sejarah, Antropologi,
dan sebagainya (Tafsir, A., 2007).
Beberapa contoh
permasalahan berikut yang merupakan bagian dari ontologi filsafat, antara lain:
Pertama, apakah hakikat pengetahuan filsafat itu?. Dari pertanyaan ini muncul
beragam jawaban, misalnya: (1) filsafat merupakan pengetahuan yang mengkaji
sebab terdalam bagi segala sesuatu menurut akal pikiran yang sehat; (2)
filsafat merupakan pengetahuan hasil perenungan puncak pikiran manusia untuk
mencapai kebajikan; (3) filsafat merupakan pemikiran teoritis tentang susunan
kenyataan sebagai keseluruhan; (4) filsafat merupakan pandangan hidup yang
menjadi orientasi segala perbuatan manusia, dan sebagainya. Kedua, apakah
hakikat objek filsafat itu?, atau apakah hakikat ‘segala sesuatu itu’?. Dari
pertanyaan ini muncul beragam jawaban atau aliran tentang ‘hakikat segala
sesuatu’, antara lain:
1.
Aliran idealisme, menurut aliran ini, hakikat segala
sesuatu dalam hidup ini ditentukan oleh jiwa atau pikiran seseorang, hakikat
benar, baik, buruk, bahagia dalam hidup adalah sangat tergantung oleh kualitas
jiwa, pikiran (idea) dan spiritual individu. Jadi, sesuatu itu punya makna
karena ide. Segala sesuatu dalam hidup ini ditentukan oleh ide atau pikiran
manusia.
2.
Aliran positivisme, menurut aliran ini, hakikat segala
sesuatu itu harus sesuai dengan hukum alam, kaidah ilmu pasti, kebenaran harus
bisa dibuktikan secara matematis, eksakta, dan objektivis, oleh karena itu
logika yang dikembangkan oleh aliran positivisme adalah logika deduktif
(formal). Jadi, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan akal pikiran yang sehat
adalah tidak pernah ada.
3.
Aliran vitalisme, menurut aliran ini, hakikat segala
sesuatu adalah sama seperti fenomena organisme, hidup ini adalah eksistensia,
hidup paling tinggi adalah kemerdekaan, segala sesuatu yang menghambat kemerdekaan
harus di lawan, karena segala macam aturan mengikat tersebut hanya membatasi
gerak aktualisasi manusia.
4.
Aliran realisme, menurut aliran ini, hakikat segala
sesuatu itu ‘ada’ karena dipengaruhi oleh beragam faktor internal dan
eksternal, yang masing-masing faktor punya pengaruh yang sama, saling mengisi,
saling terkait antara unsur satu dengan unsur lain.
5.
Aliran pluralisme, menurut aliran ini, hakikat segala
sesuatu dalam hidup selalu menyajikan keberagaman bentuk atau wujud, setiap
unsur (anorganik, organik, psikhis) dalam keberagaman tersebut sejatinya saling
mengkait membentuk kesatuan sistem kehidupan.
6.
Aliran hedonisme, menurut aliran ini, hakikat segala
sesuatu adalah terwujudnya hidup penuh ‘kenikmatan’, dan upaya meraih
kenikmatan sering berhenti pada pencarian kenikmatan indrawi, bendawi dan
sexual.
7.
Aliran humanisme, menurut aliran ini, hakikat segala
sesuatu itu ada atau baik adalah apabila kemampuan dan martabat diri manusia
bisa berfungsi sangat baik bagi kemaslahatan (humanis) kehidupan bermasyarakat.
8.
Aliran pragmatisme, menurut aliran ini, hakikat segala
sesuatu itu bermakna, apabila sesuatu itu mempunyai konsekwensi praktis atau
mempunyai nilai kegunaan dalam kehidupan, jika sesuatu itu tidak punya makna
praktis, maka sesuatu itu tidak ada; dan masih banyak lagi aliran-aliran
filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu itu apa.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas dapat dipahami, bahwa ontologi filsafat itu sejatinya
membicarakan tentang hakikat objek filsafat, atau hakikat objek masing-masing
cabang filsafat (struktur filsafat). Misalnya: (a) apakah hakikat objek
filsafat logika itu?, atau apakah hakikat logika itu?; (b) apakah hakikat objek
filsafat metafisika itu?, atau apakah hakikat metafisika itu?; (c) apakah
hakikat objek filsafat kosmologi itu?, atau apakah hakikat kosmologi itu?; (d)
apakah hakikat objek filsafat teologi itu?, atau apakah hakikat teologi itu?;
(e) apakah hakikat objek filsafat etika itu?. Atau apakah hakikat etika itu?;
(f) apakah hakikat objek filsafat estetika itu?, atau apakah apakah hakikat
estetika itu?; (g) apakah hakikat objek filsafat hukum itu?, dan sebagainya.
Semua contoh-contoh pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan ontologi filsafat.
C.
Hakikat Epistemologi Filsafat
Epistemologi adalah cara
atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan. Jadi, hakikat
epistemologi filsafat adalah ‘suatu cara atau metode atau prosedur dalam
memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan’. Menurut Anton
Bakker, dalam bukunya tentang ‘Metode-Metode Filsafat’ (1984) dijelaskan, bahwa
dalam hal metode penelitian filsafat sering dicampuradukkan dengan
metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu
sejarah, ilmu politik, ilmu psikologi, ilmu agama, ilmu pendidikan dan
sebagainya, hal ini tentu kurang tepat. Untuk itu perlu ada pembedaan tentang
metode dan objek formal. Menurut Bekker, pada dasarnya ada tiga model
penelitian filsafat, yaitu: (a) penelitian historis-faktual; (b) penelitian
lapangan (empiris); dan (c) penelitian sistematik-spekulatif.
Pertama, penelitian
historis-faktual. Beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini antara
lain:
1.
Objek material dari penelitian historis-faktual adalah,
pikiran seorang filosof, misalnya ide atau pandangan filosofisnya yang tertuang
dalam karya-karya filsafat, atau aliran atau mazhab filsafatnya.
2.
Objek formal (sasaran) dari penelitian historis-faktual,
antara lain: (a) data-data berupa teori, paham, prinsip atau ajaran filsafat
yang ada pada literatur filsafat karya para filosof; (b) melakukan analisis.
Kritik internal-eksternal, dan evaluasi terhadap paham, teori atau mazhab atau
aliran filsafat yang ada pada literatur filsafat tersebut dengan melakukan
studi komparatif dengan aliran, paham, mazhab lain; dan (c) melakukan sintesa
dari kajian tersebut dengan memperhatikan dari beragam sudut pandang filosof
lainnya, kemudian menambahkan pikiran filosofis sendiri (memberi alternatif
pemecahan secara filosofis sendiri).
3.
Metode dari penelitian historis-faktual adalah, melakukan
analisis dan sintesis dengan memperhatikan aspek historis, aspek struktural,
aspek hermeneutik, dan metode khusus (alisisi teks).
4.
Tuntutan dalam penelitian historis-faktual antara lain:
(a) harus dilakukan analisis secara objektif dan jujur; (b) diperlukan
kemampuan dasar dalam pemikiran filosofis; (c) mempunyai daya sintesis yang
mampu menyatukan semua unsur dalam suatu konstruksi teratur; dan (d) harus
menguasai bahasa asing yang sangat baik, untuk mengkaji sumber literatur
aslinya (karya asli dari para filosof). Kedua, penelitian lapangan. Beberapa
hal yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:
1.
Objek material penelitian lapangan, adalah
fenomena-fenomena kebudayaan pada kehidupan kelompok, baik kelompok mikro atau
kelompok makro, budaya etnik, budaya bangsa. Pemilihan fenomena (gejala)
tersebut difokuskan pada fenomena budaya yang mendasar dan berkaitan dengan
segala aspek kehidupan (sosial, ekonomi, politik dan sebagainya).
2.
Objek formal (sasaran) penelitian lapangan, antara lain:
(a) data yang dicari bukan data psikhologis, sosiologis atau politis, tetapi
pandangan hidup (way of life) yang menjadi orientasi hidup sehari-hari suatu
kelompok; (b) dicari pandangan-pandangan hakiki, mendasar tentang hakikat
dunia, hakikat manusia dan hakikat Tuhan; (c) mencari akar-akar pengalaman
hidup suatu kelompok yang mempengaruhi pola hidup kelompok; (d)
mensistematiskan pandangan-pandangan mendasar tentang hubungan antara
dunia-manusia-Tuhan, sehingga menjadi satu struktur dan keterarahan yang
menyeluruh (universal atau integral); (e) mengevaluasi hakikat pandangan hidup
manusia dalam kelompok, dikaji konsistensi logisnya dan daya aksiologinya bagi
hakikat hidup kelompok, kemudian dicoba dibandingkan dengan pandangan hidup lain
dan visi filosofis yang lain.
3.
Metode penelitian lapangan, antara lain: (a) pengumpulan
data bisa melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif untuk menggali
pandangan filosofisnya; pemilihan sampel snowball atau sampel purporsif atau
sampel lain secara tepat; dipadukan dengan metode kepustakaan yang relevan; (b)
pengolahan data, menggunakan analisis kualitatif; data-data lapangan
diinterpretasi dan dicari isi filosofis yang tersembunyi dibalik realitas
empiris; dianalisis latar belakang historis pandangan hidupnya yang mendasar;
disistematiskan, dievaluasi tentang hubungan antar pandangan hidup (visi
filosofisnya); dan akhirnya dimunculkan inspirasi filosofis baru dari analisis
data lapangan (empiris) untuk diberi arah dan pandangan baru sebagai tawaran
bagi mereka.
4.
Tuntutan dari penelitian lapangan, antara lain: (a) harus
ada pemahaman personal tentang sifat filosofis untuk membedakan data empiris
yang bersifat politik, sosial dan psikhologis; (b) harus memiliki konsepsi yang
baik tentang bidang-bidang filsafat yang utama, untuk membantu menemukan
unsur-unsur filosofis yang utama dari data lapangan yang tersembunyi dibalik
realitas empiris; dan (c) harus objektif dan dibutuhkan keahlian dalam
melakukan metode wawancara mendalam dan observasi partisipatif.
Ketiga, penelitian sistematik-spekulatif.
Beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:
1.
Objek material, penelitian sistematik-spekulatif, adalah
bahan yang akan dikaji adalah satu topik atau satu fenomena dalam hidup manusia
yang sangat sentral, misalnya: hakikat kebaikan; hakikat kemerdekaan; pandangan
tentang Tuhan dan sejenisnya
2.
Objek formal, penelitian sistematik-spekulatif, antara
lain: (a) subjek atau individu yang berfilsafat; (b) mencari pemahaman terdalam
dan keyakinan atau idea-idea pribadi; dan (c) membuat sintesa tentang pandangan
pribadi tentang hakikat sesuatu.
3.
Metode, penelitian sistematik-spekulatif, antara lain:
(a) menggunakan ‘metode dialog’ dengan beberapa pemikir atau filosof lain
tentang hakikat sesuatu yang menjadi objek kajian. Perlu membandingkan
pemikiran atau pandangan para filosof yang relevan, kemudian melakukan evaluasi
dan kritik; (b) menggunakan metode (logika) dalam penalaran pribadi. Diantara
contoh metode filosofis yang dapat digunakan, misalnya: bertanya mendalam,
refleksi, analisis induksi dan analisis deduksi; dan (c) ada beragam metode
dalam studi filsafat yang bisa dipakai, dan adanya keberagaman metode tersebut
sebagai konsekwensi dari adanya beragam aliran dalam filsafat. Diantara metode
yang dikenal dalam studi filsafat, antara lain: metode kritis menurut Sokrates
dan Plato; metode intuitif menurut Plotinus dan Bergon; metode skolastik
menurut Tomas Aquinas; metode geometris menurut Descartes; metode eksperimental
menurut Hume; metode kritis-transendental menurut Kant; metode dialektika
menurut Hegel, dan sebagainya.
4.
Tuntutan, penelitian sistematik-spekulatif antara lain:
(a) diperlukan banyak informasi dari para filosof atau pemikir atau para
ilmuwan di luar filosof untuk mendapatkan perbandingan sudut pandang; (b) harus
memiliki pikiran filosofis yang baik; dan (c) perlu keberanian dalam
mengemukakan pemikiran baru, meskipun natinya akan mendapat banyak respon atau
kritikan.
Uraian tersebut di atas
memperjelas konsep penting tentang hakikat epistemologi filsafat adalah:
1.
Suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh
pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2.
Cara memperoleh pengetahuan secara mendalam tentang suatu
fenomena hidup adalah, melalui proses perenungan, berpikir kritis, logis,
objektif, sistematis, universal dan integral.
3.
Dalam melakukan kajian tentang fenomena tersebut untuk
memperoleh pemahaman terdalam tentang hakikat dari segala sesuatu, harus
mendasarkan pada orientasi paham atau aliran filosofis tertentu dan metode
filsafat tertentu.
4.
Dalam melakukan kajian filsafat untuk memahami hakikat
fenomena sesuatu secara mendalam, sebaiknya menggunakan pendekatan perpaduan
antara aliran satu dengan aliran yang lain, atau menggunakan perpaduan metode
filsafat, agar diperoleh pemahaman secara integral tentang hakikat sesuatu.
D. Hakikat Aksiologi
Filsafat
Aksiologi adalah ilmu
yang membahas tentang ‘hakikat fungsi, atau manfaat filsafat bagi kehidupan
dalam segala aspeknya, atau nilai pragmatis, atau aspek kemaslahatan bagi
kehidupan ummat manusia’. Jadi, hakikat aksiologi filsafat, adalah ‘fungsi atau
manfaat filsafat bagi kehidupan ummat manusia dalam proses kehidupan
sehari-hari, untuk mencapai kualitas kehidupan dalam segala aspeknya’.
Berdasarkan banyak literatur filsafat, penulis dapat mengelompokkan tentang
fungsi atau kegunaan filsafat (aksiologi filsafat), menjadi dua antara lain:
fungsi atau kegunaan secara umum; dan fungsi atau kegunaan secara khusus.
1.
Fungsi atau kegunaan umum
Maksud dari fungsi atau
kegunaan secara umum dalam mempelajari filsafat adalah, berkaitan dengan
hakikat makna filsafat dalam kaitannya dengan pola aktivitas kehidupan
sehari-hari ummat manusia, untuk meraih derajat keunggulan atau kualitas hidup
yang paripurna (meraih hakikat kebahagiaan hidup lahir dan batin). Berkaitan
dengan hal ini maka kegunaan (nilai pragmatis atau aksiologi) filsafat antara
lain:
1.
Dengan berfilsafat seseorang akan lebih menjadi manusia,
karena dengan mempelajari filsafat seseorang akan terus melakukan perenungan
diri dan menganalisis tentang hakikat jasmani dan rohani manusia secara
mendalam. Dari proses perenungan yang mendalam dari berbagai aspek tersebut,
maka manusia diharapkan akan mampu bertindak secara bijaksana.
2.
Dengan berfilsafat seseorang akan mampu memahami makna
hakikat hidup manusia dalam hubungannya: manusia dengan manusia, manusia dengan
alam, dan manusia dengan Tuhannya, baik pada level kehidupan pribadi (micro)
maupun level masyarakat atau bangsa (macro). Dengan berfilsafat seseorang akan
mampu memberi arti terbaik, unggul dan integral terhadap makna hidupnya
dihadapan sesamanya, lingkungannya dan Tuhannya, dan akan sanggup memahami
keunggulan dan kelemahan diri, sehingga dapat memperkokoh kepribadian diri
dimanapun dia berada.
3.
Dengan berfilsafat, seseorang akan terpola (terbentuk)
kerangka berpikirnya secara kritis, objektif, logis, dan sistematis serta
cerdas dalam memahami segala hakikat fenomena hidup yang dia hadapi. Dengan
demikian manusia akan sanggup memecahkan beragam persoalan kehidupan dengan
baik dan penuh bijaksana, sehingga manusia akan sanggup meraih keunggulan
kehidupan lahir dan batin dalam proses hidupnya.
4.
Dengan berfilsafat manusia selalu dilatih, dididik untuk
berpikir secara universal, multidimensional, komprehensif, dan mendalam. Dengan
terlatihnya seseorang dalam melihat dan menganalisis hakikat segala sesuatu
secara komprehensif, multidimensional dan terdalam, maka seseorang akan mampu
meminimalisir kecenderungan berkembangnya mentalitas negatif, misalnya
egoistis, individualistis, parsialis, primordial dan diskriminatif.
5.
Belajar filsafat akan melatih seseorang untuk mampu
meningkatkan kualitas berpikir secara mandiri, mampu membangun pribadi yang
berkarakter, tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal, tetapi disisi lain
tetap mampu mengakui harkat martabat orang lain. Kualitas manusia dalam
berfilsafat akan menumbuhkan mentalitas pengakuan akan keberagaman dan
keunggulan orang lain. Jadi, belajar filsafat akan mendorong tumbuhnya sikap
mental kompetitif secara sehat dan berkualitas ditengah kehidupan yang
multikultural.
6.
Belajar filsafat akan memberikan dasar-dasar semua bidang
kajian pengetahuan, memberikan pandangan yang sintesis atau pemahaman akan
hakikat kesatuan semua pengetahuan, dan hidup manusia akan dipimpin oleh
pengetahuan yang baik. Karena berpikir filsafat akan selalu mendorong seseorang
untuk membangun keterbukaan berpikir, ketelitian dan analisis terdalam, dan
selalu terdorong untuk melakukan inovasi berdasarkan penemuan terbaru
(invention) (Johnstone,H.W. 1968; Tafsir, 2004; Sudiarja, dkk. 2006).
E.
Kesimpulan
Uraian singkat tentang
hakikat filsafat tersebut di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Pertama, beberapa konsep penting tentang dasar kefilsafatan yang perlu dipahami
adalah menyangkut: Pengertian filsafat; Ruang lingkup atau cabang-cabang
filsafat; Kegunaan atau manfaat mempelajari filsafat; Fungsi filsafat bagi
kehidupan; Beberapa aliran filsafat; Filsafat sebagai suatu pendekatan; Metode
kefilsafatan; dan Etika.
Kedua, hakikat ontologi filsafat adalah membicarakan tentang hakikat objek filsafat, atau hakikat tentang ‘apa’ filsafat itu, atau hakikat filsafat itu sendiri, atau hakikat ‘segala sesuatu’, atau struktur filsafat. Ontologi filsafat sejatinya menyangkut semua hakikat objek filsafat, sehingga meliputi pula jenis atau cabang filsafat, misalnya: Hakikat objek filsafat logika; Hakikat objek filsafat metafisika; Hakikat objek filsafat teologi (filsafat agama); Hakikat objek filsafat etika; Hakikat objek filsafat estetika; Hakikat objek filsafat hukum; Hakikat objek filsafat pendidikan; Hakikat objek filsafat sejarah; dan sebagainya.
Ketiga, hakikat epistemologi filsafat adalah suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggung-jawabkan. Jadi, hakikat epistemologi filsafat, yaitu: (a) suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya; (b) cara memperoleh pengetahuan secara mendalam tentang suatu fenomena hidup adalah, melalui proses perenungan, berpikir kritis, logis, objektif, sistematis, universal dan integral; (c) dalam melakukan kajian tentang fenomena tersebut untuk memperoleh pemahaman terdalam tentang hakikat dari segala sesuatu, harus mendasarkan pada orientasi paham atau aliran filosofis tertentu dan metode filsafat tertentu; (d) dalam melakukan kajian filsafat untuk memahami hakikat fenomena sesuatu secara mendalam, sebaiknya menggunakan pendekatan perpaduan antara aliran satu dengan aliran yang lain, atau menggunakan perpaduan metode filsafat, agar diperoleh pemahaman secara integral tentang hakikat sesuatu; dan (e) hakikat epistemologi filsafat tentu berbeda dengan hakikat epistemologi ilmu pengetahuan. Keempat, hakikat aksiologi filsafat adalah fungsi atau manfaat filsafat bagi kehidupan ummat manusia dalam proses kehidupan sehari-hari, untuk mencapai kualitas kehidupan dalam segala aspeknya. Berdasarkan banyak literatur filsafat, dapat dikelompokkan tentang fungsi atau kegunaan filsafat (aksiologi filsafat), menjadi dua antara lain: fungsi atau kegunaan secara umum; dan fungsi atau kegunaan secara khusus.
Kedua, hakikat ontologi filsafat adalah membicarakan tentang hakikat objek filsafat, atau hakikat tentang ‘apa’ filsafat itu, atau hakikat filsafat itu sendiri, atau hakikat ‘segala sesuatu’, atau struktur filsafat. Ontologi filsafat sejatinya menyangkut semua hakikat objek filsafat, sehingga meliputi pula jenis atau cabang filsafat, misalnya: Hakikat objek filsafat logika; Hakikat objek filsafat metafisika; Hakikat objek filsafat teologi (filsafat agama); Hakikat objek filsafat etika; Hakikat objek filsafat estetika; Hakikat objek filsafat hukum; Hakikat objek filsafat pendidikan; Hakikat objek filsafat sejarah; dan sebagainya.
Ketiga, hakikat epistemologi filsafat adalah suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggung-jawabkan. Jadi, hakikat epistemologi filsafat, yaitu: (a) suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya; (b) cara memperoleh pengetahuan secara mendalam tentang suatu fenomena hidup adalah, melalui proses perenungan, berpikir kritis, logis, objektif, sistematis, universal dan integral; (c) dalam melakukan kajian tentang fenomena tersebut untuk memperoleh pemahaman terdalam tentang hakikat dari segala sesuatu, harus mendasarkan pada orientasi paham atau aliran filosofis tertentu dan metode filsafat tertentu; (d) dalam melakukan kajian filsafat untuk memahami hakikat fenomena sesuatu secara mendalam, sebaiknya menggunakan pendekatan perpaduan antara aliran satu dengan aliran yang lain, atau menggunakan perpaduan metode filsafat, agar diperoleh pemahaman secara integral tentang hakikat sesuatu; dan (e) hakikat epistemologi filsafat tentu berbeda dengan hakikat epistemologi ilmu pengetahuan. Keempat, hakikat aksiologi filsafat adalah fungsi atau manfaat filsafat bagi kehidupan ummat manusia dalam proses kehidupan sehari-hari, untuk mencapai kualitas kehidupan dalam segala aspeknya. Berdasarkan banyak literatur filsafat, dapat dikelompokkan tentang fungsi atau kegunaan filsafat (aksiologi filsafat), menjadi dua antara lain: fungsi atau kegunaan secara umum; dan fungsi atau kegunaan secara khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit. 1987. Denken
over geschiedenis. Een overzicht van moderne geschiedfilosofische opvattingen.
Dick Hartoko (penerjemah). Refleksi tentang Sejarah. Pendapat-pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah. 1987.PT. Gramdeia. Jakarta.
Bakker, A.
1984. Metode Metode Filsafat. Ghalia Indonesia. Jakarta
_____. 1992.
Ontologi Metafisika Umum. Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan. Kanisius.
Yogyakarta. .
Beerling.
1966. Filsafat Dewasa ini. Penterjemah Hasan Amin. PT. Balai Pustaka. Djakarta.
Beerling,
dkk., 2003. Inleiding tot de Weteinschapsleer. Penerjemah, Soemargono.
Pengantar Filsafat Ilmu. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Berry, D.
1981. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, Team LPPS (penerjemah) 1998. CV.
Rajawali. Jakarta.
Drijarkara,
N. 1977. Sebuah Bunga Rampai Dari Sudut Filsafat. Yayasan Kanisius. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar