Kamis, 27 September 2012

METODE KAJIAN FILSAFAT


BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah mahluk istimewa yang diciptakan Allah SWT. Keistimewaan manusia terletak pada potensi-potensi yang Allah berikan kepadanya. Baik itu potensi yang berupa fisik ataupun non-fisik. Semua potensi fisik manusia memiliki fungsi yang sangat luar biasa kegunaannya bagi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, begitupun dengan potensi non-fisik yang terdiri atas: jiwa (psyche), akal (ratio) dan rasa (sense).
Dengan potensi akalnya, manusia mampu menjadi mahluk yang lebih mulia kedudukannya daripada mahluk lain. Allah telah mengaruniai manusia sebuah anugerah yang mampu menjadikan manusia mahluk yang berbudaya. Berbeda dengan hewan yang tidak mampu berbudaya dikarenakan hewan tidak memiliki akal. Dengan akalnya ini pula manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta lingkungannya, berefleksi tentang bagaimana ia sebagai seorang manusia memandang dunianya dan bagaimana ia menata kehidupannya. Karena kemampuan dalam menggunakan nalarnya, manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia-rahasia kekuasaan-Nya. Contohnya para ilmuwan muslim seperti Al-Khawarizmi (825M) yang mampu menyusun buku matematika aljabar dan arimetika yang kemudian di Eropa menjadi jalan pembuka untuk menggunakan angka desimal yang menggantikan cara penulisan dengan angka romawi. Ibnu Sina (980-1037) adalah bapak kedokteran modern, ia menulis buku Al-Qonuun fi Ath-Thib (The Canon of Medicine) dan Kitab Asy-Syifa’ (The Book of Healing) yang telah dijadikan bahan rujukan ahli-ahli kedokteran modern. Ibnu al-Haitam (965-1040) seorang cendikiawan multidisiplin ilmu yang menghasilkan karya besar Al-Manadhir (The Optic). Ibnu Ismail Al-Jaziri (1136-1206), tokoh besar bidang mekanik dan industri ini berhasil mengembangkan prinsip hidrolik untuk menggerakkan mesin yang dikenal sebagai mesin robot.
Di dunia baratpun dikenal tokoh-tokoh ilmuwan yang telah menorehkan sejarah emasnya bagi generasi penerus mereka. Sebut saja Newton (1643-1727) yang berhasil menciptakan teori gravitasi, teorinya memberikan penjelasan yang luas sekali tentang peristiwa-peristiwa fisika mulai dari ukuran molekuler sampai ukuran astronomis. Selain itu, Newton juga berhasil menyusun perhitungan kalkulus yang disebut diferensial integral. Alexander Abraham Bell (1847), sang penemu telepon. Wilhelm Konrad Roentgen (1895) yang telah menemukan sinar X. Thomas Alva Edison (1827-1931), penemu lampu pijar dan 3000 penemuan lainnya yang sampai sekarang kegunaannya dapat kita rasakan. Dan masih banyak tokoh-tokoh yang lainnya.
Lantas, bagaimana mereka mampu melakukan hal besar itu semua? Itu semua tentunya mampu mereka capai karena mereka dapat mengoptimalkan potensi akal yang Allah SWT berikan kepada mereka dan tentunya kepada kita juga. Dan salah satu bidang keilmuan yang membelajarkan manusia untuk dapat mengoptimalkan akalnya adalah Ilmu Filsafat. Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang membutuhkan refleksi dan pemikiran sistematis-metodis dengan secara aktif menggunakan intelek dan rasio kita. Oleh karena itu, melalui makalah ini akan coba dipaparkan sebuah pengantar filsafat sebagai bekal dalam menuju dan mengungkap rahasia terbesar yang tersimpan dalam akal kita.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Dasar-Dasar Kefilsafatan
Beberapa konsep penting tentang dasar kefilsafatan yang akan dijelaskan dalam sub bab ini adalah: Pengertian filsafat; Ruang lingkup atau Cabang-cabang filsafat; Kegunaan atau manfaat mempelajari filsafat; Fungsi filsafat; Beberapa aliran filsafat; Filsafat sebagai suatu pendekatan; Metode kefilsafatan; dan Etika. Penjelasan tentang dasar-dasar kefilsafatan tersebut di atas bukan dimaksudkan untuk memberikan suatu uraian yang sangat komprehensif atau menyeluruh, akan tetapi penjelasannya lebih menekankan pada konsep-konsep kunci, yang diharapkan para mahasiswa atau peminat studi filsafat ilmu memperoleh gambaran awal yang cukup membekali dalam melakukan kajian-kajian lebih lanjut dan mendalam tentang hakikat filsafat dari sumber-sumber ilmiah lainnya.
1.      Pengertian Filsafat
Ketika orang berbicara tentang filsafat, nampak kesan awal atau anggapan yang muncul adalah membicarakan sesuatu yang abstrak, yang sulit dicermati, transendental, fantasi, renungan yang mendalam, imajinasi dan sesuatu yang serba sulit dan luas (universal). Apabila dicermati dengan sungguh-sungguh tentang makna filsafat, maka sejatinya pandangan tersebut di atas tidak semuanya benar, karena: (a) objek kajian filsafat sejatinya menyangkut hal-hal yang abstrak dan juga hal-hal yang kongkrit atau hal-hal yang bersifat idea dan praktis; dan (b) ruang lingkup kajian ilmu filsafat juga berkaitan dengan kehidupan individual dan kolektif manusia sehari-hari, misalnya: keluarga, lembaga pendidikan; partai politik, pemerintahan dan beragam bentuk aktivitas kelompok lainnya.
Dalam beberapa literatur filsafat telah dijumpai beragam pengertian tentang filsafat. Keberagaman tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang yang dijadikan sebagai dasar orientasinya (Johnstone, 1968; Driyarkara, N. 1977). Dari beragam karya tulis tentang filsafat, penulis dapat merangkum sebagai berikut: Pertama, pengertian filsafat dari segi arti kata, yaitu ‘Filsafat’ berasal dari bahasa Yunani terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan. Atau berasal dari kata ‘philosophia’ yang berarti ‘cinta akan kebijaksanaan atau love of wisdom’. Jadi, pengertian filsafat dari arti kata adalah ‘cinta pada kebijaksanaan’. Kedua, pengertian filsafat ‘secara umum’, yaitu ‘suatu ilmu pengetahuan yang melakukan penyelidikan atau kajian tentang hakikat dari segala sesuatu dengan sungguh-sungguh (penuh kecintaan) untuk memperoleh kebenaran atau kebijaksanaan’. Jadi, jawaban-jawaban yang diberikan oleh filsafat tentang hakikat fenomena hidup (sesuatu) harus bersifat mendalam atau mencapai tingkat kebenaran yang lebih universal. Ketiga, pengertian filsafat ‘secara khusus’, yaitu ‘suatu ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat sesuatu untuk memperoleh kebenaran menurut aliran filsafat tertentu’. Dalam filsafat terdapat beragam aliran, misalnya: aliran idealisme, aliran positivisme, aliran materialisme, aliran hedonisme, aliran stoicisme dan sebagainya. Jadi, pengertian hakikat sesuatu menurut aliran idealisme tentunya tidak sama dengan hakikat sesuatu menurut aliran positivisme, hedonisme, materialisme dan stoicisme (Langeved, 1961; Sunoto, 1982). Beragam aliran filsafat tersebut akan dijelaskan secara garis besar atau prinsip-prinsip pokok pada pembahasan berikutnya.Dari pengertian singkat tentang filsafat tersebut di atas, konsep penting yang perlu dipahami tentang hakikat makna filsafat antara lain: (a) filsafat adalah mendorong manusia untuk berpikir secara kritik; (b) berpikir filsafat adalah berpikir dalam bentuk yang sistematis; (c) filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut; (d) berpikir filsafat adalah berpikir secara rasional dan logis; dan (e) proses berpikir filsafat harus bersifat mendalam dan komprehensif (Beerling, 1966; Kattsoff, L. 1996). Oleh karena itu filsafat mempunyai peran yang sangat sentral dalam pengembangan semua disiplin ilmu pengetahuan, sehingga filsafat diharapkan dijadikan sebagai pemimpin (orientation) dalam pengembangan semua ilmu pengetahuan atau filsafat berkedudukan sebagai induknya ilmu pengetahuan (Driyarkara, N. 1978).
2.      Ruang Lingkup, dan Cabang-Cabang Filsafat
Ruang lingkup kajian filsafat sangatlah luas, karena filsafat mengkaji tentang ‘hakikat segala sesuatu’, disamping itu filsafat merupakan ‘induk segala ilmu pengetahuan’ (Beerling, 1966; Gazalba, 1973; Drijarkara, 1978). Sedangkan pembagian cabang-cabang filsafat yang dikemukakan para ahli atau para filosof sangat beragam, tergantung sudut pandang yang diyakininya. Berikut ini beberapa pembagian cabang-cabang filsafat menurut para ahli antara lain:
Pertama, Plato, membedakan filsafat menjadi tiga, yaitu: (1) Dialektika (filsafat tentang ide-ide atau pengertian-pengertian umum); (2) Fisika (filsafat tentang dunia material); dan (3) Etika (filsafat tentang kebaikan atau kesusilaan).
Kedua, Aristoteles, membedakan filsafat menjadi empat, yaitu: (1) Logika (tentang bentuk susunan pikiran); (2) Filosofis teoritika, yang terbagi menjadi: (a) fisika (tentang dunia material); (b) matematika; (c) metafisika (tentang hakikat ‘ada’); (3) Filosofia praktika (tentang hakikat hidup kesusilaan), yang terbagi menjadi: (a) etika (tentang kesusilaan dalam hidup perseorangan); (b) ekonomia (tentang kesusilaan dalam hidup berkeluarga); (c) politika (tentang kesusilaan dalam hidup bernegara); dan (4) Filosofia poeletika (filsafat kesenian (Drijarkara, 1978).
Ketiga, Kattsoff, L., lebih rinci dalam membagi cabang-cabang filsafat, yaitu: (1) Logika, yaitu membicarakan tentang hukum-hukum penyimpulan secara benar; (2) Metodologi, yaitu membicarakan tentang teknik atau cara melakukan penelitian ilmiah; (3) Metafisika, yaitu membicarakan tentang segala sesuatu yang ada, atau membahas hakekat ‘ada’; (4) Ontologi, yaitu membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada, atau hakikat ‘objek’ dari segala sesuatu; (5) Kosmologi, yaitu membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang serba teratur; (6) Epistemologi, yaitu membahas tentang hakikat kebenaran; (7) Filsafat biologi, yaitu membicarakan tentang hakikat hidup; (8) Filsafat psikologi, yaitu membicarakan tentang hakikat jiwa manusia; (9) Filsafat antropologi, yaitu membicarakan tentang hakikat budaya manusia; (10) Filsafat sosiologi, yaitu membicarakan tentang hakikat masyarakat dan negara; (11) Etika, yaitu membicarakan tentang hakikat baik dan buruk; (12) Estetika, yaitu membicarakan tentang hakikat indah atau keindahan; (13) Filsafat agama, yaitu membicarakan tentang hakikat agama atau kepercayaan (Kattsoff, 1996).
Dalam perkembangan studi filsafat berikutnya muncul cabang-cabang filsafat, sebagai konsekwensi dari beragam spesifikasi kehidupan, sehingga selain beragam cabang filsafat yang telah diuraikan di atas adalah muncul: (1) Filsafat politik, yang secara khusus membicarakan tentang hakikat kekuasaan, wewenang, pemerintahan, demokrasi dan sebagainya; (2) Filsafat hukum, yang secara khusus membicarakan tentang: dasar-dasar hukum, idea hukum, kaidah hukum, tujuan hukum, rahasia-rahasia hukum, peraturan perundang-undangan; (3) Filsafat pendidikan, yang membicarakan tentang hakikat pendidikan dan pengajaran, fungsi pendidikan, peran orang tua-masyarakat dan negara dalam pendidikan, hakikat proses pembelajaran budaya, dan sebagainya; (4) Filsafat sejarah, yang secara khusus membicarakan tentang: makna sejarah, proses historis, kaidah ilmu sejarah, subjektivitas dan objektivitas sejarah, fungsi sejarah, dan sebagainya (Ankersmit, 1987).
3.      Filsafat Sebagai Suatu Pendekatan
Ditinjau dari aspek ruang lingkup kajiannya, maka studi filsafat mempunyai jangkauan yang sangat luas karena menyangkut hakikat segala sesuatu secara mendalam dan universal. Disisi lain filsafat merupakan induknya segala ilmu pengetahuan. Filsafat melatih, mendorong seseorang untuk mampu berpikir secara: kritis, logis, sistematis, rasional, objektif dan mendalam dalam menganalisis hakikat segala sesuatu tentang fenomena kehidupan ini, kesemuanya dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran dan mencapai tujuan yaitu menjadi manusia yang bijaksana.
Filsafat sebagai suatu pendekatan mempunyai makna, bahwa ‘memahami hakikat segala sesuatu dalam kehidupan ini untuk meraih kebenaran dan kebijakan diperlukan pemahaman tentang beberapa cara atau metode, langkah, dan strategi yang baik untuk mencapai kebenaran terdalam tentang hakikat segala sesuatu tersebut’. Ada beberapa pendekatan filosofis dalam memahami hakikat segala sesuatu terdalam dalam kehidupan ini, antara lain:
a.      pendekatan ontologik,
Artinya untuk mempelajari suatu objek filsafat tertentu (misalnya: filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat Pancasila, filsafat agama, filsafat sejarah, filsafat politik, filsafat ilmu, filsafat seni dan sebagainya), atau untuk mencari hakikat realitas yang terdalam, atau mencari hakikat objek terdalam dari segala sesuatu;
b.      pendekatan kosmologik,
Artinya dalam mempelajari suatu filsafat tertentu (seperti contoh di atas) adalah mencari kebenaran segala sesuatu terdalam yang bekaitan dengan hakikat ruang, waktu dan dinamika atau gerak dari hakikat segala sesuatu itu’;
c.      pendekatan logika,
artinya dalam mempelajari suatu filsafat tertentu adalah dengan mencari hakikat kebenaran dari segala sesuatu secara mendalam dengan menggunakan logika deduktif atau logika formal dan menggunakan logika induktif atau logika material;
d.      pendekatan teologis,
artinya dalam mempelajari suatu filsafat tertentu adalah dengan selalu mengkaitkan antara fenomena rasional, empiris dan kekuatan supra natural (Tuhan). Hakikat kebenaran itu sejatinya adalah terbagi dalam kategori kebenaran science (ilmu), kebenaran filosofis (filsafat), dan kebenaran religious (kebanaran Agama), ketiganya saling mengkait. Jadi, pendekatan teologis meletakkan kebenaran agama sebagai kebenaran absolut (kebenaran mutlak), sedangkan kebenaran filsafat dan kebenaran ilmu bersifat relatif, oleh karena itu ketika manusia ingin meraih hakikat kebenaran (kebenaran mutlak) maka manusia harus taat kepada ajaran agamanya.
e.      pendekatan etika,
artinya dalam mempelajari suatu filsafat tertentu adalah dengan selalu mengkaitkan antara kajian hakikat dari segala sesuatu terdalam dengan prinsip-prinsip nilai-norma sosial-budaya yang berlaku di masyarakat, atau bagaimana kajian hakikat dari segala sesuatu itu mempunyai makna aksiologis atau nilai pragmatis, nilai fungsional dan mampu membentuk keunggulan etika manusia dalam proses kehidupan di sepanjang usia hidupnya di masyarakat (Sunoto, 1982; Sudiarja, dkk. 2006). Jadi, dalam pendekatan etika, manusia atau setiap individu dianggap bermakna atau punya arti bagi kehidupan ketika seluruh pola perilaku sehari-hari individu tersebut berdasarkan nilai-norma sosial budaya yang berlaku, sehingga hakikat sesuatu dianggap baik atau benar ketika sesuatu itu merujuk pada nilai dan norma yang berlaku.
4.      Metode Kefilsafatan
Menurut Stephen C. Pepper, dalam Sumaryono (1999), metode filsafat bukanlah metode ‘ketergantungan’ atau ‘kepastian’, melainkan lebih merupakan ‘metode hipotesis’. Pepper menyebut metode filsafat yaitu ‘hipotesis filsafat’ sebagai ‘hipotesis dunia’, yaitu ‘hipotesis yang sama sekali tidak mempunyai batas, dan yang memperhitungkan semua kenyataan atau evidensi. Hipotesis dunia mencakup semua hal, baik yang khusus atau yang abstrak sejauh hal itu mungkin ada. Jadi, hipotesis filsafat (metode filsafat) berbeda dengan hipotesis ilmiah (bersifat spesifik, pasti, dan harus bisa teruji secara empirik). Hipotesis filsafat bersifat spekulatif, mendalam dan komprehensif (hakikat sesuatu).
Terdapat banyak definisi tentang metode filsafat, namun berikut ini penulis dapat mengemukakan pengertian yang cukup sederhana tentang metode filsafat, yaitu ‘cara kerja filsafat dalam memahami hakikat terdalam tentang segala sesuatu dalam hidup ini’. Menurut para ahli tidak ada metode tunggal yang dianggap paling benar dan berlaku secara universal dalam memahami filsafat atau hakikat terdalam tentang segala sesuatu dalam hidup ini. Setiap metode filsafat yang dikembangkan oleh filosof pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh sudut pandang tertentu dan kondisi jaman atau waktu dan tempat (lingkungan geografis), serta latar belakang kehidupan sosial budaya atau politik, ekonomi yang dialaminya.
Ada beberapa macam metode filsafat, antara lain: (a) metode kritis; (b) metode empiris; (c) metode intuisi; (d) metode skolastik; (e) metode rasional; (f) metode eksperimental; (g) metode kritis transendental; (h) metode dialektika; (i) metode fenomenologi; dan (j) metode hermeneutik (Bakker, A., 1984; Sumaryono, 1999). Berikut ini diuraikan pokok-pokok pikiran dari beberapa metode filsafat tersebut secara singkat untuk membekali para pembaca dalam melakukan kajian filsafat lebih lanjut pada sumber-sumber ilmiah.
a.      Metode kritis
Metode kritis. Tokoh utama metode kritis adalah Sokrates (470-399 SM) dan muridnya yaitu Plato (427-347 SM). Beberapa pokok pikiran ‘metode kritis’ Sokrates antara lain:
1.      Metode kritis merupakan analisis istilah dan pendapat dalam proses dialog dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut fenomena sosial atau fenomena alam.
2.      Metode kritis merupakan hermeneutika, yang menjelaskan keyakinan, dan memperlihatkan pertentangan dalam dialog. Dengan jalan bertanya atau berdialog secara kritis, seseorang dapat membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak sesuatu dan akhirnya ditemukan hakikat dari sesuatu.
3.      Disebut metode kritis karena manusia dituntut untuk terus mempertanyatakan (mengkritisi) segala sesuatu yang disaksikan, dirasakan dengan bertanya dan berdialog antar individu dalam proses kehidupannya.
4.      Sokrates, mengajarkan agar manusia selalu mengajukan pertanyaan baru tentang segala sesuatu, ketika muncul jawaban dari pertanyaan tersebut, maka harus terus dimunculkan pertanyaan lagi dari jawaban yang ada (proses dialektika), demikian seterusnya. Jadi, dialektika itu menjadi suatu pemeriksaan teliti, semacam cross examination, dengan membandingkan jawaban dalam dialog.
5.      Menurut Sokrates, dengan terus menanyakan, membandingkan, menyisihkan, dan menolak informasi atau data yang tidak relevan, seseorang akan membuat rumusan, definisi dan generalisasi. Seseorang akan memperoleh pengertian (definisi) sejati tentang hakikat kenyataan.
6.      Bagi Sokrates, hakikat ‘kebijaksanaan’ adalah kesanggupan seseorang terus bertanya dan berdialog untuk membuka hati-pikiran agar tetap mampu menerima pengetahuan sejati, yaitu pengetahuan mengenai kebaikan susila atau ‘kebijaksanaan’ (sophrosyne). Kebijaksanaan itu bukan diperoleh melalui hapalan dari diktat, melainkan melalui proses pencarian pribadi dan pengalaman pribadi. Oleh karena itu manusia menjadi angry with himself and gentle to others.
Sedangkan beberapa pokok pikiran ‘metode kritis’ dari filosof Plato antara lain:
1.      Metode filosofis paling utama adalah dialog, dan kemampuan berdialog merupakan seni manusiawi yang paling tinggi. Sebenarnya metode Plato merupakan perluasan atau penyempurnaan metode kritis gurunya yaitu Sokrates.
2.      Plato memperkenalkan dialog-dialog dengan menyebut ‘dialog tengah’ atau ‘metode hipotesis’.
3.      Menurut Plato, kebenaran umum (definisi) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif (seperti pendapat Sokrates), pengertian umum (definisi) itu sudah tersedia di ‘sana’ yaitu di ‘alam idea’.
4.      Hakikat esensi itu mempunyai realitas, dan realitas itu di ‘alam idea’ itu. Jadi, kebenaran umum itu bukan dibuat tetapi sudah ada di alam idea. Sebenarnya baik Plato maupun gurunya yaitu Sokrates sama-sama mengakui kekuatan akal (reason) dan kekuatan hati (rasa dan larsa) (Tafsir, A., 2003).
b.     Metode empiris
Metode empiris. Tokoh utama metode empiris adalah Aristoteles (384 SM). Aristoteles merupakan murid dan teman Plato, tetapi warna filsafat Aristoteles berbeda dengan Sokrates dan Plato. Aristoteles lebih sistematis dan sangat dipengaruhi oleh metode empiris, dia dikenal sebagai Bapak logika, dan logika Aristoteles sering disebut logika formal. Beberapa pokok pikiran Aristoteles antara lain:
a.      Prinsip-prinsip ajaran Aristoteles menyangkut banyak aspek, yaitu prinsip-prinsip sains, politik, retorika, dan dialektika.
b.      Aristoteles sangat tertarik kepada natural sciences (ilmu-ilmu alam), oleh karena itu ia mementingkan observasi ilmiah (metode empiris).
c.      Bagi Aristoteles, manusia dapat mencapai kebenaran ilmiah. Setiap objek terdiri atas matter dan form, keduanya bisa bersatu (hal ini yang membedakan dengan Plato, yang menganggap matter dan form tidak bisa bersatu). Matter itu potentiality atau potensial (memberikan substansi sesuatu), sedangkan form itu aktualitas (memberikan pembungkusnya). Tetapi ada substansi yang ‘murni form’ tanpa potentiality (tanpa matter) yaitu Tuhan. Menurut Aristoteles bukti adanya Tuhan adalah ‘Tuhan sebagai penyebab gerak’ (a first cause of movement). Eksistensi Tuhan dapat dicapai dengan akal. Jadi, Aristoteles filosof yang mampu mengakhiri pertentangan antara akal dan hati (iman). Kekuasaan akal mulai dibatasi, ada kebenaran yang umum. Tidak semua kebenaran itu relatif. Sains dapat dipegang sebagian dan diperselisihkan sebagian.
d.      Metode empiris Aristoletes telah meletakkan dasar-dasar sains dan logika formal atau logika deduktif (Tafsir, A. 2003). Baca kembali tentang logika formal pada bab sebelumnya. Metode empiris inilah yang nantinya menghasilkan aliran atau paham empirisme dalam filsafat.
c.      Metode intuisi
Metode intuisi. Tokoh utama metode intuisi atau intuitif adalah Plotinos (204-270) dan Henri Bergson (1859-1941). Sedangkan pokok-pokok pikiran Plotinos tentang mentode intuisi antara lain:
1.      Pandangan Plotinos pada dasarnya merupakan suatu kulminasi atau sintesa definitif dari beragam unsur filsafat Yunani. Plotinos mengaku penganut setia pandangan Plato, tetapi sebenarnya pandangan Plotinos adalah integrasi dari filsafat Plato, Aristoteles, Stoa dan Neo-Pythagoreanisme.
2.      Metode Plotinos dalam filsafat disebut ‘intuitif’ atau ‘mistik’. Pola pemikiran Plotinos sangat diwarnai oleh kondisi jaman waktu itu yang banyak dijumpai kelompok-kelompok kontemplasi atau ‘mistik’. Sikap kontemplasi demikian meresapi seluruh metode berpikir pada metode intuisi Plotinos.
3.      Plotinos dianggap filosof pertama yang mengajukan teori penciptaan alam semesta dengan mengajukan ‘teori emanasi’. Tujuan filsafat menurut Plotinos adalah mencapai pemahaman mistik, oleh karena itu metode intuisi ada yang menyamakan dengan metode ‘mistik’.
4.      Plotinos termasuk filosof yang menganut realitas idea, seperti Plato, hanya Plotinos kurang memperhatikan masalah-masalah sosial seperti Plato. Sistem metafisika Plotinos ditandai oleh konsep transendens atau mistik
5.      Menurut Plotinos, di dalam pikiran manusia terdapat tiga realitas, yaitu: (1) The One (Yang Esa, yaitu Tuhan). The One itu tidak dapat didekati melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami melalui pemikiran logis; (2) The Mind atau Nous (idea-idea). Idea-Idea ini merupakan bentuk asli objek-objek. Kandungan Mind adalah benar-benar kesatuan. Untuk bisa menghayati Mind manusia harus melalui perenungan terdalam dalam hidupnya; dan (3) The Soul, yaitu realitas ketiga dalam filsafat Plotinos. Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu energi di belakang dunia, dan bentuk-bentuk alam semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua bentuk, yaitu intelek yang tunduk pada reinkarnasi dan irasional (moral) (Mangunhardjana, 1997; Tafsir, A. 2003).
Sedangkan Henri Bergson adalah filosof yang tertarik pada pandangan Plotinos. Sedangkan pokok-pokok pikiran Bergson tentang metode intuisi antara lain:
1.      Semua yang ada dalam kehidupan manusia adalah berakar pada dorongan hidup I’elan vital, karena pada diri manusia terdapat ‘vitalitas naluri dan biologis’. Tetapi hal yang paling kunci adalah ‘vitalitas spiritual’, oleh karena itu filsafat Henri Bergson bersifat spiritualistis.
2.      Bergson menyelami kegiatan spiritual intern di dalam individu kongkrit, dengan cara ilmiah, yaitu cara atau metode yang dapat dipertanggungjawabkan (tidak seperti Plotinus yang mistik).
3.      Dinamik kosmis hanya dapat dipahami, kalau manusia menyelam dan membiarkan diri tenggelam dalam arus kesadaran yang terdalam (tak putus-putus).
4.      Intuisi itu bukan saja suatu flash of insight yang mustahil diekspresikan, melainkan suatu act, merupakan suatu asaha mental dan konsentrasi pikiran. Pengalaman batiniah itu harus diuraikan oleh akal budi seakan-akan mengerti dari ‘luar’.
5.      Untuk mencairkan konsep-konsep dan untuk mengarahkan ‘visi’ dan ‘intuisi’ Bergson menggunakan banyak simbol. Simbol-simol itu tidak mematikan gerak. Simbol itu mempunyai dua peranan, yaitu: (1) simbol itu menampakkan realitas tersembunyi; dan (2) simbol-simbol yang mempunyai peran sebaliknya. Metode Bergson bukan anti-intelektual, tetapi supra-intelektual (Bakker, A., 1984).
d.     Metode skolastik
Metode skolastik. Filsafat skolastik terutama dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan keuskupan. Diantara ciri utama metode filsafat skolastik antara lain: (1) filsafat menjadi bagian integral dalam teologi; (2) para filosof utama yang mengajarkan integrasi filsafat dengan agama adalah para imam dan biarawan; dan (3) mementingkan otonomi atau mendasarkan akal budi manusia dan mengkaji hakikat kehadiran manusia di dunia. Meskipun filsafat skolastik menyatukan antara filsafat dengan teologi, dia tidak sama dengan pandangan-pandangan sebelumnya tentang eksistensi Tuhan. Filsafat skolastik dengan tokoh utamanya Thomas Aquinas menjelaskan eksistensi Tuhan secara rasional, sedangkan pandangan teologi sebelumnya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan banyak diwarnai oleh pemikiran mistik atau tidak rasional (Bakker, A., 1984).
Pokok-pokok pikiran dari filosof Thomas Aquinas (1225-1274) antara lain:
1.      Hanya ada dua kekuatan yang menggerakkan dinamika perubahan dunia, yaitu agama dan filsafat. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Tuhan bagi Aquinas adalah Awal dan Akhir segala kebajikan.
2.      Hakikat alam semesta ini adalah terdiri dari lima realitas kelas, yaitu: realitas anorganis, realitas animal, realitas manusia, realitas malaikat, dan realitas Tuhan. Dan semua realitas tersebut berpusat atau dibimbing oleh realitas Tuhan.
3.      Filsafat Aquinas mendasarkan kepada eksistensi Tuhan, tetapi pandangannya tentang eksisitensi Tuhan berbeda dengan teolog sebelumnya. Menurut Aquinas eksistensi Tuhan dapat dibuktikan dengan akal (rasional).
Ada empat dalil yang memperkuat pendapat Aquinas di atas, yaitu: (1) hakikat segala sesuatu di alam ini bergerak, dan sejatinya penggerak itu bukan benda yang bergerak, tetapi ada Sang Penggerak Tunggal itulah Tuhan; (2) di dunia indrawi manusia terbukti ada sebab yang mencukupi (efficient cause) (misalnya kebutuhan indra mata, dan sebagainya). Secara rasional tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya sendiri. Jadi, ada Sumber Penyebab itulah Tuhan; (3) logika kemungkinan dan keharusan (possibility and necessity). Di dunia ini hakikat segala sesuatu itu bisa mungkin ada (possibility) dan harus ada (necessity). Penyebab yang harus ada itulah Tuhan; dan (4) tentang hukum keteraturan alam. Manusia menyaksikan benda planet dalam sistem tata surya dan benda-benda di alam ini bergerak dalam hukum keteraturan, padahal benda-benda tersebut tidak mempunyai akal atau pengetahuan untuk bergerak menuju keteraturan. Hal ini tentu membuktikan adanya Sang Pengatur Tunggal itulah Tuhan.
4.      Pandangan Aquinas tentang Jiwa (intuisi), yaitu: (1) manusia terdiri dari jiwa dan raga. Raga menghadirkan matter (potensial) sedangkan jiwa menghadirkan form (aktualitas atau prinsip-prinsip hidup yang aktual); (2) jiwa adalah kapasitas intelektual (pikir) dan kegiatan vital kejiwaan lainnya. Manusia adalah makhluk berakal. Jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi dari raga, sehingga jiwa harus membimbing raga (fisik). Jiwa rasional merupakan manifestasi kehidupan tertinggi; (3) jiwa manusia dibagi menjadi tiga kemampuan, yaitu: kemampuan mengindera (sensation), kemampuan pikir (reason), dan kemampuan nafsu (appetite), ketiganya menyatu dalam diri manusia. (Tafsir, A. 2003). Jiwa tersebut merupakan anugerah Tuhan, yang membedakan manusia dengan mahluk lain.
e.      Metode rasional
Metode rasional. Tokoh utama metode geometris atau rasional modern adalah Rene Descartes (1596-1650), dia adalah pendiri pemikiran modern atau tokoh besar dalam filsafat rasionalisme, atau disebut sebagai ‘Bapak’ filsafat modern. Descartes menyadari adanya jurang antara filsafat Aristoteles dengan orientasi ilmiah baru. Beberapa pokok pikiran Descartes antara lain:
1.      Akal (reason) adalah alat paling dasar dalam memperoleh pengetahuan (science) dan menguji science serta untuk berpikir filsafat secara rasional. Sedangkan alat reason dalam berpikir adalah kaidah-kaidah logis (logika).
2.      Rasionalisme dalam filsafat adalah sangat berguna sebagai teori pengetahuan (science). Rasionalisme berpendapat bahwa pengetahuan itu datang dari penemuan akal atau berpikir logis (logika) (rasionalisme lawan dari empirisme, yang menganggap pengetahuan berasal dari pengalaman-pengalaman nyata, bukan dari logika). Jadi, dasar filsafat haruslah rasio (akal).
3.      Menurut Descartes, basis (dasar) bagi filsafat itu bukan filsafat Sokrates-Plato (Filsafat Yunani kuno atau Ancient philosophy), bukan filsafat abad pertengahan (middle ages philosophy), dan bukan filsafat agama (religious philosophy), tetapi pondasi filsafat adalah ‘aku yang berpikir’. Jadi, ketika saya berpikir adalah saya ada atau benar-benar ada.
4.      Descartes membangun kerangka berpikir dari ‘keraguan’ terhadap sesuatu, dari ‘keraguan’ terus berpikir logis menuju ke ‘kepastian’ untuk menemukan ‘keyakinan’ yang berada di balik keraguan itu, ketika keyakinan itu begitu jelas dan pasti (clear and distinct) akhirnya diperoleh ‘keyakinan yang sempurna, yang disebut truths of reason. Jadi, akal (reason) itulah basis (dasar) yang terpenting dalam berfilsafat. Filsafat Descartes ini disebut filsafat modern (modern philosophy). Tokoh atau filosof lain yang mendukung Descartes adalah Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), dan Hobbes (Peursen,C.A. 1980; Tafsir, A. 2003). Metode rasional inilah yang nantinya menghasilkan aliran atau paham rasionalisme dalam studi filsafat.
f.        Metode eksperimental
Metode eksperimental. Tokoh metode eksperimental adalah David Hume ((1711-1776). Sedangkan pokok-pokok pikiran Hume tentang pandangan eksperimentalnya antara lain:
1.      Semua ilmu berhubungan dengan hakekat manusia. Semua pengertian dan kepastian berasal dari observasi tingkah laku dan introspeksi tentang proses-proses psikologis.
2.      Sikap objektif tanpa prasangka merupakan syarat mutlak bagi sikap ilmiah yang benar, untuk mencapai hal itu manusia harus menggunakan ‘skeptis secara metodis’, yaitu dengan cara menangguhkan segala pendapat tentang sesuatu dengan mengajukan pertanyaan terlebih dahulu atau sanggahan (kontra) terhadap pendapat terdahulu. Hal ini memunculkan paham skeptisisme.
3.      Ada dua macam penalaran yang berkaitan dengan lingkup kajian dan pengertian ilmiah, yaitu: (1) pemikiran abstrak tentang kuantitas (angka); dan (2) pemikiran eksperimental mengenai fakta dan eksistensi. Selain dari kedua pemikiran tersebut dianggap tidak ilmiah. Satu-satunya sumber bagi segala pengertian filosofis adalah ‘pengalaman inderawi’.
4.      Aspek progresif dalam metode Hume adalah bergerak dari yang sederhana menuju yang kompleks (sintesa), disisi lain metode Hume juga bergerak dari pengalaman menuju ke pengertian (induksi ala geometri). Pengalaman-pengalaman itu membentuk suatu ‘impresi’ (kesan umum), dari impresi itu dibentuk ide yang sederhana, contoh, impresi sederhana tentang warna merah akan menghasilkan ide sederhana tentang warna merah, contoh impresi kompleks tentang ‘metropolis’ akan menghasilkan ide yang kompleks tentang metropolis. Jadi, impresi dan ide itu menyatu dalam imajinasi.
5.      Ide-ide yang sah adalah yang dibentuk melalui jalan perbandingan dan kombinasi antar ide, yang umumnya disebut ‘ide-ide umum abstrak’.
6.      Meskipun ide-ide tadi telah dilakukan perbandingan dan kombinasi, manusia harus tetap mempertanyakan apakah ide tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Apakah ide-ide kompleks itu ada kesesuaian dengan ide-ide primer (ide sederhana) yang mengkonstituirnya. Menurut Hume, banyak suatu yang menjadi keyakinan seseorang tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (Bakker, A. 1984).
g.     Metode kritisisme
Metode kritisisme (kritis transendental). Tokoh utama metode kritis atau aliran kritisisme adalah Immanuel Kant (1724-1804), dia menilai bahwa abad ke 18 di Jerman mengalami masa atau era ‘Aufklarung’ atau jaman pencerahan. Beberapa pokok pikiran Immanuel Kant tentang metode kritis atau aliran kritisisme antara lain:
1.      Kritisisme melakukan penyelidikan tentang batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jadi, kritisisme berbeda dengan filsafat rasionalisme sebelumnya yang mengakui kemampuan rasio secara mutlak.
2.      Kritisisme Kant memandang bahwa: (1) objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek semata (subjek dan objek); (2) kemampuan rasio manusia itu terbatas untuk mengetahui realitas atau hakikat realitas atau sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejala atau fenomena dari realitas; (3) pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh dari perpaduan antara apriori (berasal dari rasio dan kondisi objektif ruang dan waktu) dan aposteriori (berasal dari pengalaman yang berupa materi dan bersifat subjektif).
3.      Tujuan kritisisme Kant adalah memugar sifat objektivisme dunia ilmu pengetahuan yang bersumber dari rasionalisme; dan memugar sifat subjektivisme dunia ilmu pengetahuan yang berumber dari empirisme. Oleh karena itu bagi Kant, syarat dasar bagi semua ilmu pengetahuan adalah dua hal yaitu: (1) bersifat umum, mutlak, objektif; dan (2) memberi pengetahuan yang baru berdasarkan realitas empiris. Jadi, objektivisme (rasionalisme) dan subjektivisme (empirisme) adalah dua sisi yang saling mengisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
4.      Kritisisme Kant, mencoba mendamaikan antara rasionalisme (apriori) dengan empirisme (aposteriori). Kritisisme Kant berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan sintesa dari unsur apriori dengan unsur aposteriori, keduanya saling mengisi dan saling memberi makna kehidupan.
5.      Tentang peran atau tugas ‘akal budi’ menurut Kant adalah menciptakan putusan-putusan, oleh karena itu pengenalan akal budi adalah hasil sintesa dari ‘bentuk’ atau kategori (apriori) dan ‘materi’ (aposteriori atau data-data inderawi).
6.      Taraf rasio bagi Kant adalah, bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi yang dibimbing oleh tiga ide, yaitu: jiwa, dunia, dan Allah. Ide bagi Kant adalah ‘suatu cita-cita yang menjamin adanya kesatuan terakhir dalam bidang: (1) gejala-gejala psikis (jiwa); (2) kejadian-kejadian jasmani (dunia); dan (3) gejala-gejala hakikat Ada (Allah/ Tuhan)’. Menurut Kant, apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis (apriori) harus diandaikan atas dasar rasio praktis (aposteriori). Tetapi tentang kebebasan kehendak, immoralitas jiwa dan adanya Tuhan menurut Kant manusia tidak mempunyai pengetahuan teoritis.
7.      Kant berkesimpulan, bahwa kenyataan itu lebih luas daripada apa yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh manusia, dan Kant berusaha membangun metafisika baru. Metafisika baru itu berdasarkan perpaduan keberadaan objektivisme atau rasionalisme dengan keberadaan subjektivisme (empirisme) yang tidak saling menafikan, tetapi saling mengisi dan menyempurnakan dalam memahami hakikat suatu fenomena (Bakker, 1984; Praja.J.S.,2005).
h.     Metode dialektika
Metode dialektika, tokoh utama metode atau aliran dialektika adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Beberapa pokok pikiran filsafat Hegel tentang metode dialektika antara lain:
a.      Tentang Budi, ‘Budi’ memegang peran penting dalam proses sejarah kehidupan. Budi itu aktif dalam dua bidang, yaitu: (1) sebagai ‘roh objektif’, maka budi menguasai hal-hal dalam realitas objektif, yang bersifat tertib, teratur mengikuti hukum alam (unsur apriori), memberi bentuk yang jelas; dan (2) sebagai ‘roh subjektif’, maka potensi budi berperan untuk mengusai dirinya dan dapat mencari jalan di tengah-tengah kenyataan, memberi isi. Atau roh subjektif itu berkaitan dengan akal budi subjek yang tahu (unsur aposteriori).
Menurut Hegel, bahwa identifikasi antara ‘roh objektif’ dan ‘roh subjektif’ berlangsung terus menerus (suatu proses sejarah). Jadi, proses sejarah kehidupan mengandung dua aspek (roh objektif dan roh subjektif), keduanya saling koeksistensi, tindih-menindih, saling mencerminkan, saling berjumpa dalam sintesa tertinggi yang disebut ‘Roh Mutlak’, ketika roh mutlak tercapai maka sejarahpun tamat. Menurut Hegel, sejarah merupakan suatu gerak menuju sebuah tujuan yang bersifat teleologis. Dalam filsafat Hegel, unsur formal (objektif atau apriori) hampir tidak dapat dipisahkan dari unsur material (subjektif atau aposteriori) (Ankersmit. 1987).
b.      Tentang Dialektika. Menurut Hegel, dialektika adalah ‘susunan logis yang menunjukkan bagaimana dalam perkembangan proses sejarah itu identifikasi diri Roh atau ‘Budi terjadi’. Dasar dialektika Hegel adalah ‘penyangkalan setiap penegasan’. Bagi Hegel, setiap konsep menimbulkan konsep yang berlawanan, atau setiap pengertian seolah-olah tercermin dalam lawannya. Jadi, dialektika Hegel selalu secara positif berbicara mengenai negasi atau penyangkalan. Contoh dialektika Hegel: pria bukan wanita; absolut bukan relatif; makhluk (ciptaan) bukan khalik (pencipta); baik bukan buruk; ide bukan alam (materi); beragam bukan satu; universal bukan singular; aktif bukan pasif, dan seterusnya.
Bagi Hegel, kontradiksi merupakan ‘motor’ dialektika. Pola berpikir kontradiksi (dialektika) merupakan jalan utama atau tahap mutlak yang harus dialami untuk mencapai kebenaran. Kontradiksi (dialektika) itu benar-benar nyata, tetapi kontradiksi itu bukan menurut arti logika formal semata, kontradiksi itu menandakan kekuranglengkapan konseptual, dan ditemukan terutama di kategori-kategori rendah (realitas kongkrit). Jadi, metode Hegel adalah dialektika antara konsep murni (apriori atau formal) dan fakta kongkrit (aposteriori atau material) yang menyatu dalam sintesis (Bakker, A., 1984).
c.      Hegel termasuk seorang filosof yang menganut aliran idealisme. Bagi Hegel kenyataan identik dengan pikiran seseorang tentang kenyataan itu. Namun perlu dipahami pandangan Hegel tentang idealisme, bahwa ‘idealisme bukan menjadi titik tolak atau dasar utama dari segala sesuatu, melainkan hasil atau tugas yang diberikan oleh pikiran (rasional) manusia’. Idealisme menurut Hegel akan mencapai perwujudannya yang paripurna ketika Roh Subjektif dan Roh Objektif melaksanakan identifikasi diri secara timbal balik (saling mengisi) di dalam Roh Mutlak. Proses saling mengisi antara Roh Subjektif dan Roh Objektif adalah merupakan proses sejarah (proses kehidupan), adapun sifat dari proses sejarah tersebut adalah dialektis (Ankersmit. 1987).
i.        Metode fenomenologi
Metode fenomenologi. Tokoh metode atau aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938). Beberapa pokok pikiran Husserl tentang fenomenologi antara lain:
1.      Husserl menolak sikap ‘scientisme’, yang menghadapi fenomena hidup (gejala kehidupan) dengan menggunakan metode eksakta (kuantitatif). Bagi Husserl, objek pertama bagi filsafat bukan dari ‘pengertian hasil rasionalistik’ tentang kenyataan, tetapi dari kenyataan itu sendiri.
2.      Menurut Husserl, dunia sekitar manusia itu ‘berada’, adalah tergantung oleh proses terjadinya hubungan ‘antar subjektivitas transendental’ dalam komunitas antar individu yang ada dalam komunitas tersebut.
3.      Metode Husserl disebut metode fenomenologi, dengan beberapa ciri antara lain: (1) titik tolak metodenya dalam objek dan subjek. Untuk mencapai objek pengertian menurut keasliannya harus dilakukan metode reduksi (pembersihan) dari unsur-unsur yang tidak nyata, misalnya membersihkan pengertian tentang sesuatu dari unsur-unsur tradisi, manusia harus otonom. Jadi, yang dimaksud metode reduksi adalah ‘penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuisi dilakukan berulang-ulang’; (2) objek penyelidikan adalah ‘fenomena’ atau gejala. Fenomena itu adalah data dari gejala yang sederhana, tanpa ditambah hal lain (apa adanya); (3) fenomena alam itu fakta (relasi) yang dapat diterapkan dalam observasi empiris, tetapi fenomenologi Husserl juga dapat berupa pandangan ‘rohani’, namun fenomenologi Husserl tidak sama dengan fenomenologi agama; (4) ‘metode reduksi’ merupakan salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis harus bersikap netral atau otonom (tidak terpengaruh) dari teori atau pandangan yang telah ada, artinya diberi kesempatan ‘berbicara tentang dirinya sendiri’.
4.      Ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan fenomenologis, yaitu: (1) reduksi fenomenologis, maksudnya adalah apa yang kita lihat tentang segala sesuatu (misalnya ‘X’) dalam kehidupan sehari-hari kita yakini sebagai kenyataan. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya (di balik kenyataan ‘X’ yang nampak), dan pemahaman dibalik yang nampak hanya dapat dicapai dengan ‘mengalami secara intuitif’, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan mata itu untuk sementara harus ‘ditinggalkan’, ‘segala subjektivitas disingkirkan’, ‘dibebaskan dari teori-teori yang ada’, sehingga yang muncul dalam kesadaran adalah ‘fenomena itu sendiri’ (hal ini disebut reduksi fenomenologis); (2) reduksi eidetis (inti sari), maksudnya adalah dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan (karena aspek dan profil tersebut tidak menggambarkan objek secara utuh). Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Hakikat (realitas) yang dicari dalam reduksi eidetis adalah struktur dasar yang fundamental dan hakiki. Dalam reduksi eidetis memberlakukan kriteria kohersi, artinya, pengamatan yang terus menerus terhadap objek harus bisa dipadukan dalam suatu horison yang konsisten; dan (3) reduksi fenomenologi transendental. Reduksi ini tidak lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Kesadaran dalam fenomenologi transendental, bukan kesadaran empiris (bendawi) lagi, melainkan kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu sebagai ‘subjektivitas’ atau ‘aku transendental’. Dari reduksi fenomenologi transendental inilah yang menyebabkan Husserl oleh para ahli dikategorikan penganut aliran idealisme (Rossides, 1978)
5.      Tujuan dari adanya ketiga reduksi tersebut adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi dengan fenomena asli dalam kesadaran. Namun para fenomenolog (murid-murid Husserl) lebih banyak menggunakan reduksi fenomenologi (tidak menggunakan reduksi fenomenologi transendental).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga reduksi tersebut memberikan kejelasan bahwa metode fenomenologi itu menutut ‘manusia tidak begitu saja menerima pengertian dan rumusan tentang sesuatu hal dari teori atau pandangan sebelumnya, karena pengertian atau pemahaman tersebut belum menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Pandangan atau pengertian pertama tentang sesuatu perlu dilanjutkan pada pandangan kedua untuk menghilangkan tabir yang menghalangi pada pandangan pertama, pandangan kedua untuk menemukan hakikat objek’. Metode fenomenologi ini di era sekarang banyak dipakai dalam studi filsafat, sosial budaya, ideologi, dan politik (Praja, J.S., 2005).
j.        Metode hermeneutik
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani ‘hermeneuein’ yang berarti ‘menafsirkan’. Jadi, metode hermeneutik bisa diartikan sebagai ‘metode penafsiran atau metode interpretasi’. Tokoh-tokoh dari metode hermeneutik antara lain Schleiermacher (lahir di Breslau 1768); Wilhelm Dilthey (lahir di Jerman 1833); Jurgen Habermas (lahir di Jerman 1929); Paul Ricoeur (lahir di Perancis 1913); dan Jacques Derrida (lahir di Aljazair 1930), dan sebagainya. Ada beberapa konsep tentang metode hermeneutik dalam studi filsafat antara lain:
a.      Pada hakikatnya semua ilmu-ilmu pengetahuan tentang kehidupan (life sciences) adalah memerlukan metode hermeneutik (cara penafsiran atau interpretasi). Karena setiap pengetahuan selalu bersentuhan dengan pengalaman, dan setiap pengalaman hidup akan diungkap dengan bahasa, dan sering bahasa yang digunakan untuk menjelaskan pengalaman tersebut harus ditafsirkan agar bisa dimengerti oleh orang lain.
b.      Semua objek dalam hidup ini pada dasarnya adalah netral (objek adalah objek), yang memberi ‘arti, fungsi dan makna’ suatu objek adalah subjek (manusia). Suatu benda tertentu ‘X’ (objek) punya arti atau makna tertentu karena subjek (manusia) yang manaruh perhatian atau memberi arti dan makna terhadap ‘X’ tersebut. Jadi, peran ‘penafsiran atau interpretasi’ seseorang tentang sesuatu adalah kunci dalam proses hidup. Kadar kebenaran dari sesuatu hal sangat ditentukan oleh kualitas penafsiran atau interpretasi terhadap sesuatu tersebut.
c.      Semua interpretasi atau penafsiran mencakup ‘pemahaman’, namun sifat pemahaman itu sangat kompleks dan luas. Oleh karena itu manusia tidak bisa memastikan kapan sebenarnya seseorang itu mulai mengerti tentang sesuatu. Untuk dapat membuat interpretasi (penafsiran) manusia harus lebih dahulu mengerti (understand) atau memahami (comprehend) tentang sesuatu. Dan seseorang akan mengerti atau memahami sesuatu dengan sungguh-sungguh harus berdasarkan pengetahuan yang benar (correct), dari pengetahuan dan interpretasi yang benar kemudian manusia merekonstruksi.
d.      Seseorang yang melakukan penafsiran (interpretasi) tidak boleh bersifat pasif, ia harus merekonstruksi ‘makna’ dibalik fenomena. Alat atau media dalam melakukan rekonstruksi fenomena adalah: cakrawala intelektual penafsir dalam menganalisis suatu fenomena; pengalaman historis penafsir; latar belakang sosial budaya penafsir; dan kemampuan bahasa untuk mengkomunikasikan hasil interpretasi.
e.      Metode hermeneutik, menegaskan bahwa manusia autentik selalu dilihat dalam konteks waktu dan ruang (time and space) dimana manusia sendiri mengalami dan menghayatinya. Artinya, memahami manusia dengan segala pola perilakunya hanya bisa dilakukan dengan cara ‘memahami situasi sosal-budaya dan lingkungan sehari-harinya dimana manusia itu hidup’.
f.        Hermeneutik sebagai metode studi filsafat, mempunyai sifat dasar yaitu ‘luwes’ sesuai dengan perkembangan jaman dan bersifat open-mindedness. Cara kerja hermeneutik dalam memahami fenomena hidup adalah lebih menekankan pada penafsiran atau interpretasi yang berbasis pada ‘manusia yang mengalami’ atau ‘individu dalam situasinya’ sendiri (Sumaryono, 1999).
B.    Hakikat Ontologi Filsafat
Ontologi adalah membicarakan tentang hakikat objek, hakikat ‘apa’, hakikat ‘segala sesuatu’. Jadi, hakikat ontologi filsafat adalah ‘membicarakan tentang hakikat objek filsafat, atau hakikat tentang ‘apa’ filsafat itu, atau hakikat filsafat itu sendiri, atau hakikat ‘segala sesuatu’, atau struktur filsafat’. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas tentang pengertian dan ruang lingkup studi filsafat, bahwa filsafat mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan mengkaji tentang hakikat segala sesuatu tentang fenomena hidup ini secara mendalam, integral dan universal.
Ontologi filsafat sejatinya menyangkut semua hakikat objek filsafat, sehingga meliputi pula jenis atau cabang filsafat, misalnya: Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Etika, Estetika, Filsafat Hukum, Filsafat Pendidikan, Filsafat sejarah, Antropologi, dan sebagainya (Tafsir, A., 2007).
Beberapa contoh permasalahan berikut yang merupakan bagian dari ontologi filsafat, antara lain: Pertama, apakah hakikat pengetahuan filsafat itu?. Dari pertanyaan ini muncul beragam jawaban, misalnya: (1) filsafat merupakan pengetahuan yang mengkaji sebab terdalam bagi segala sesuatu menurut akal pikiran yang sehat; (2) filsafat merupakan pengetahuan hasil perenungan puncak pikiran manusia untuk mencapai kebajikan; (3) filsafat merupakan pemikiran teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan; (4) filsafat merupakan pandangan hidup yang menjadi orientasi segala perbuatan manusia, dan sebagainya. Kedua, apakah hakikat objek filsafat itu?, atau apakah hakikat ‘segala sesuatu itu’?. Dari pertanyaan ini muncul beragam jawaban atau aliran tentang ‘hakikat segala sesuatu’, antara lain:
1.      Aliran idealisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu dalam hidup ini ditentukan oleh jiwa atau pikiran seseorang, hakikat benar, baik, buruk, bahagia dalam hidup adalah sangat tergantung oleh kualitas jiwa, pikiran (idea) dan spiritual individu. Jadi, sesuatu itu punya makna karena ide. Segala sesuatu dalam hidup ini ditentukan oleh ide atau pikiran manusia.
2.      Aliran positivisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu itu harus sesuai dengan hukum alam, kaidah ilmu pasti, kebenaran harus bisa dibuktikan secara matematis, eksakta, dan objektivis, oleh karena itu logika yang dikembangkan oleh aliran positivisme adalah logika deduktif (formal). Jadi, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan akal pikiran yang sehat adalah tidak pernah ada.
3.      Aliran vitalisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu adalah sama seperti fenomena organisme, hidup ini adalah eksistensia, hidup paling tinggi adalah kemerdekaan, segala sesuatu yang menghambat kemerdekaan harus di lawan, karena segala macam aturan mengikat tersebut hanya membatasi gerak aktualisasi manusia.
4.      Aliran realisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu itu ‘ada’ karena dipengaruhi oleh beragam faktor internal dan eksternal, yang masing-masing faktor punya pengaruh yang sama, saling mengisi, saling terkait antara unsur satu dengan unsur lain.
5.      Aliran pluralisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu dalam hidup selalu menyajikan keberagaman bentuk atau wujud, setiap unsur (anorganik, organik, psikhis) dalam keberagaman tersebut sejatinya saling mengkait membentuk kesatuan sistem kehidupan.
6.      Aliran hedonisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu adalah terwujudnya hidup penuh ‘kenikmatan’, dan upaya meraih kenikmatan sering berhenti pada pencarian kenikmatan indrawi, bendawi dan sexual.
7.      Aliran humanisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu itu ada atau baik adalah apabila kemampuan dan martabat diri manusia bisa berfungsi sangat baik bagi kemaslahatan (humanis) kehidupan bermasyarakat.
8.      Aliran pragmatisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu itu bermakna, apabila sesuatu itu mempunyai konsekwensi praktis atau mempunyai nilai kegunaan dalam kehidupan, jika sesuatu itu tidak punya makna praktis, maka sesuatu itu tidak ada; dan masih banyak lagi aliran-aliran filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu itu apa.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa ontologi filsafat itu sejatinya membicarakan tentang hakikat objek filsafat, atau hakikat objek masing-masing cabang filsafat (struktur filsafat). Misalnya: (a) apakah hakikat objek filsafat logika itu?, atau apakah hakikat logika itu?; (b) apakah hakikat objek filsafat metafisika itu?, atau apakah hakikat metafisika itu?; (c) apakah hakikat objek filsafat kosmologi itu?, atau apakah hakikat kosmologi itu?; (d) apakah hakikat objek filsafat teologi itu?, atau apakah hakikat teologi itu?; (e) apakah hakikat objek filsafat etika itu?. Atau apakah hakikat etika itu?; (f) apakah hakikat objek filsafat estetika itu?, atau apakah apakah hakikat estetika itu?; (g) apakah hakikat objek filsafat hukum itu?, dan sebagainya. Semua contoh-contoh pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan ontologi filsafat.

C.    Hakikat Epistemologi Filsafat
Epistemologi adalah cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan. Jadi, hakikat epistemologi filsafat adalah ‘suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan’. Menurut Anton Bakker, dalam bukunya tentang ‘Metode-Metode Filsafat’ (1984) dijelaskan, bahwa dalam hal metode penelitian filsafat sering dicampuradukkan dengan metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu sejarah, ilmu politik, ilmu psikologi, ilmu agama, ilmu pendidikan dan sebagainya, hal ini tentu kurang tepat. Untuk itu perlu ada pembedaan tentang metode dan objek formal. Menurut Bekker, pada dasarnya ada tiga model penelitian filsafat, yaitu: (a) penelitian historis-faktual; (b) penelitian lapangan (empiris); dan (c) penelitian sistematik-spekulatif.
Pertama, penelitian historis-faktual. Beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:
1.      Objek material dari penelitian historis-faktual adalah, pikiran seorang filosof, misalnya ide atau pandangan filosofisnya yang tertuang dalam karya-karya filsafat, atau aliran atau mazhab filsafatnya.
2.      Objek formal (sasaran) dari penelitian historis-faktual, antara lain: (a) data-data berupa teori, paham, prinsip atau ajaran filsafat yang ada pada literatur filsafat karya para filosof; (b) melakukan analisis. Kritik internal-eksternal, dan evaluasi terhadap paham, teori atau mazhab atau aliran filsafat yang ada pada literatur filsafat tersebut dengan melakukan studi komparatif dengan aliran, paham, mazhab lain; dan (c) melakukan sintesa dari kajian tersebut dengan memperhatikan dari beragam sudut pandang filosof lainnya, kemudian menambahkan pikiran filosofis sendiri (memberi alternatif pemecahan secara filosofis sendiri).
3.      Metode dari penelitian historis-faktual adalah, melakukan analisis dan sintesis dengan memperhatikan aspek historis, aspek struktural, aspek hermeneutik, dan metode khusus (alisisi teks).
4.      Tuntutan dalam penelitian historis-faktual antara lain: (a) harus dilakukan analisis secara objektif dan jujur; (b) diperlukan kemampuan dasar dalam pemikiran filosofis; (c) mempunyai daya sintesis yang mampu menyatukan semua unsur dalam suatu konstruksi teratur; dan (d) harus menguasai bahasa asing yang sangat baik, untuk mengkaji sumber literatur aslinya (karya asli dari para filosof). Kedua, penelitian lapangan. Beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain: 
1.      Objek material penelitian lapangan, adalah fenomena-fenomena kebudayaan pada kehidupan kelompok, baik kelompok mikro atau kelompok makro, budaya etnik, budaya bangsa. Pemilihan fenomena (gejala) tersebut difokuskan pada fenomena budaya yang mendasar dan berkaitan dengan segala aspek kehidupan (sosial, ekonomi, politik dan sebagainya).
2.      Objek formal (sasaran) penelitian lapangan, antara lain: (a) data yang dicari bukan data psikhologis, sosiologis atau politis, tetapi pandangan hidup (way of life) yang menjadi orientasi hidup sehari-hari suatu kelompok; (b) dicari pandangan-pandangan hakiki, mendasar tentang hakikat dunia, hakikat manusia dan hakikat Tuhan; (c) mencari akar-akar pengalaman hidup suatu kelompok yang mempengaruhi pola hidup kelompok; (d) mensistematiskan pandangan-pandangan mendasar tentang hubungan antara dunia-manusia-Tuhan, sehingga menjadi satu struktur dan keterarahan yang menyeluruh (universal atau integral); (e) mengevaluasi hakikat pandangan hidup manusia dalam kelompok, dikaji konsistensi logisnya dan daya aksiologinya bagi hakikat hidup kelompok, kemudian dicoba dibandingkan dengan pandangan hidup lain dan visi filosofis yang lain.
3.      Metode penelitian lapangan, antara lain: (a) pengumpulan data bisa melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif untuk menggali pandangan filosofisnya; pemilihan sampel snowball atau sampel purporsif atau sampel lain secara tepat; dipadukan dengan metode kepustakaan yang relevan; (b) pengolahan data, menggunakan analisis kualitatif; data-data lapangan diinterpretasi dan dicari isi filosofis yang tersembunyi dibalik realitas empiris; dianalisis latar belakang historis pandangan hidupnya yang mendasar; disistematiskan, dievaluasi tentang hubungan antar pandangan hidup (visi filosofisnya); dan akhirnya dimunculkan inspirasi filosofis baru dari analisis data lapangan (empiris) untuk diberi arah dan pandangan baru sebagai tawaran bagi mereka.
4.      Tuntutan dari penelitian lapangan, antara lain: (a) harus ada pemahaman personal tentang sifat filosofis untuk membedakan data empiris yang bersifat politik, sosial dan psikhologis; (b) harus memiliki konsepsi yang baik tentang bidang-bidang filsafat yang utama, untuk membantu menemukan unsur-unsur filosofis yang utama dari data lapangan yang tersembunyi dibalik realitas empiris; dan (c) harus objektif dan dibutuhkan keahlian dalam melakukan metode wawancara mendalam dan observasi partisipatif.
Ketiga, penelitian sistematik-spekulatif. Beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:
1.      Objek material, penelitian sistematik-spekulatif, adalah bahan yang akan dikaji adalah satu topik atau satu fenomena dalam hidup manusia yang sangat sentral, misalnya: hakikat kebaikan; hakikat kemerdekaan; pandangan tentang Tuhan dan sejenisnya
2.      Objek formal, penelitian sistematik-spekulatif, antara lain: (a) subjek atau individu yang berfilsafat; (b) mencari pemahaman terdalam dan keyakinan atau idea-idea pribadi; dan (c) membuat sintesa tentang pandangan pribadi tentang hakikat sesuatu.
3.      Metode, penelitian sistematik-spekulatif, antara lain: (a) menggunakan ‘metode dialog’ dengan beberapa pemikir atau filosof lain tentang hakikat sesuatu yang menjadi objek kajian. Perlu membandingkan pemikiran atau pandangan para filosof yang relevan, kemudian melakukan evaluasi dan kritik; (b) menggunakan metode (logika) dalam penalaran pribadi. Diantara contoh metode filosofis yang dapat digunakan, misalnya: bertanya mendalam, refleksi, analisis induksi dan analisis deduksi; dan (c) ada beragam metode dalam studi filsafat yang bisa dipakai, dan adanya keberagaman metode tersebut sebagai konsekwensi dari adanya beragam aliran dalam filsafat. Diantara metode yang dikenal dalam studi filsafat, antara lain: metode kritis menurut Sokrates dan Plato; metode intuitif menurut Plotinus dan Bergon; metode skolastik menurut Tomas Aquinas; metode geometris menurut Descartes; metode eksperimental menurut Hume; metode kritis-transendental menurut Kant; metode dialektika menurut Hegel, dan sebagainya.
4.      Tuntutan, penelitian sistematik-spekulatif antara lain: (a) diperlukan banyak informasi dari para filosof atau pemikir atau para ilmuwan di luar filosof untuk mendapatkan perbandingan sudut pandang; (b) harus memiliki pikiran filosofis yang baik; dan (c) perlu keberanian dalam mengemukakan pemikiran baru, meskipun natinya akan mendapat banyak respon atau kritikan.
Uraian tersebut di atas memperjelas konsep penting tentang hakikat epistemologi filsafat adalah:
1.      Suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2.      Cara memperoleh pengetahuan secara mendalam tentang suatu fenomena hidup adalah, melalui proses perenungan, berpikir kritis, logis, objektif, sistematis, universal dan integral.
3.      Dalam melakukan kajian tentang fenomena tersebut untuk memperoleh pemahaman terdalam tentang hakikat dari segala sesuatu, harus mendasarkan pada orientasi paham atau aliran filosofis tertentu dan metode filsafat tertentu.
4.      Dalam melakukan kajian filsafat untuk memahami hakikat fenomena sesuatu secara mendalam, sebaiknya menggunakan pendekatan perpaduan antara aliran satu dengan aliran yang lain, atau menggunakan perpaduan metode filsafat, agar diperoleh pemahaman secara integral tentang hakikat sesuatu.
D.    Hakikat Aksiologi Filsafat
Aksiologi adalah ilmu yang membahas tentang ‘hakikat fungsi, atau manfaat filsafat bagi kehidupan dalam segala aspeknya, atau nilai pragmatis, atau aspek kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia’. Jadi, hakikat aksiologi filsafat, adalah ‘fungsi atau manfaat filsafat bagi kehidupan ummat manusia dalam proses kehidupan sehari-hari, untuk mencapai kualitas kehidupan dalam segala aspeknya’. Berdasarkan banyak literatur filsafat, penulis dapat mengelompokkan tentang fungsi atau kegunaan filsafat (aksiologi filsafat), menjadi dua antara lain: fungsi atau kegunaan secara umum; dan fungsi atau kegunaan secara khusus.
1.      Fungsi atau kegunaan umum
Maksud dari fungsi atau kegunaan secara umum dalam mempelajari filsafat adalah, berkaitan dengan hakikat makna filsafat dalam kaitannya dengan pola aktivitas kehidupan sehari-hari ummat manusia, untuk meraih derajat keunggulan atau kualitas hidup yang paripurna (meraih hakikat kebahagiaan hidup lahir dan batin). Berkaitan dengan hal ini maka kegunaan (nilai pragmatis atau aksiologi) filsafat antara lain:
1.      Dengan berfilsafat seseorang akan lebih menjadi manusia, karena dengan mempelajari filsafat seseorang akan terus melakukan perenungan diri dan menganalisis tentang hakikat jasmani dan rohani manusia secara mendalam. Dari proses perenungan yang mendalam dari berbagai aspek tersebut, maka manusia diharapkan akan mampu bertindak secara bijaksana.
2.      Dengan berfilsafat seseorang akan mampu memahami makna hakikat hidup manusia dalam hubungannya: manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya, baik pada level kehidupan pribadi (micro) maupun level masyarakat atau bangsa (macro). Dengan berfilsafat seseorang akan mampu memberi arti terbaik, unggul dan integral terhadap makna hidupnya dihadapan sesamanya, lingkungannya dan Tuhannya, dan akan sanggup memahami keunggulan dan kelemahan diri, sehingga dapat memperkokoh kepribadian diri dimanapun dia berada.
3.      Dengan berfilsafat, seseorang akan terpola (terbentuk) kerangka berpikirnya secara kritis, objektif, logis, dan sistematis serta cerdas dalam memahami segala hakikat fenomena hidup yang dia hadapi. Dengan demikian manusia akan sanggup memecahkan beragam persoalan kehidupan dengan baik dan penuh bijaksana, sehingga manusia akan sanggup meraih keunggulan kehidupan lahir dan batin dalam proses hidupnya.
4.      Dengan berfilsafat manusia selalu dilatih, dididik untuk berpikir secara universal, multidimensional, komprehensif, dan mendalam. Dengan terlatihnya seseorang dalam melihat dan menganalisis hakikat segala sesuatu secara komprehensif, multidimensional dan terdalam, maka seseorang akan mampu meminimalisir kecenderungan berkembangnya mentalitas negatif, misalnya egoistis, individualistis, parsialis, primordial dan diskriminatif.
5.      Belajar filsafat akan melatih seseorang untuk mampu meningkatkan kualitas berpikir secara mandiri, mampu membangun pribadi yang berkarakter, tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal, tetapi disisi lain tetap mampu mengakui harkat martabat orang lain. Kualitas manusia dalam berfilsafat akan menumbuhkan mentalitas pengakuan akan keberagaman dan keunggulan orang lain. Jadi, belajar filsafat akan mendorong tumbuhnya sikap mental kompetitif secara sehat dan berkualitas ditengah kehidupan yang multikultural.
6.      Belajar filsafat akan memberikan dasar-dasar semua bidang kajian pengetahuan, memberikan pandangan yang sintesis atau pemahaman akan hakikat kesatuan semua pengetahuan, dan hidup manusia akan dipimpin oleh pengetahuan yang baik. Karena berpikir filsafat akan selalu mendorong seseorang untuk membangun keterbukaan berpikir, ketelitian dan analisis terdalam, dan selalu terdorong untuk melakukan inovasi berdasarkan penemuan terbaru (invention) (Johnstone,H.W. 1968; Tafsir, 2004; Sudiarja, dkk. 2006).
E.     Kesimpulan
Uraian singkat tentang hakikat filsafat tersebut di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut: Pertama, beberapa konsep penting tentang dasar kefilsafatan yang perlu dipahami adalah menyangkut: Pengertian filsafat; Ruang lingkup atau cabang-cabang filsafat; Kegunaan atau manfaat mempelajari filsafat; Fungsi filsafat bagi kehidupan; Beberapa aliran filsafat; Filsafat sebagai suatu pendekatan; Metode kefilsafatan; dan Etika.
Kedua, hakikat ontologi filsafat adalah membicarakan tentang hakikat objek filsafat, atau hakikat tentang ‘apa’ filsafat itu, atau hakikat filsafat itu sendiri, atau hakikat ‘segala sesuatu’, atau struktur filsafat. Ontologi filsafat sejatinya menyangkut semua hakikat objek filsafat, sehingga meliputi pula jenis atau cabang filsafat, misalnya: Hakikat objek filsafat logika; Hakikat objek filsafat metafisika; Hakikat objek filsafat teologi (filsafat agama); Hakikat objek filsafat etika; Hakikat objek filsafat estetika; Hakikat objek filsafat hukum; Hakikat objek filsafat pendidikan; Hakikat objek filsafat sejarah; dan sebagainya.
Ketiga, hakikat epistemologi filsafat adalah suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggung-jawabkan. Jadi, hakikat epistemologi filsafat, yaitu: (a) suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya; (b) cara memperoleh pengetahuan secara mendalam tentang suatu fenomena hidup adalah, melalui proses perenungan, berpikir kritis, logis, objektif, sistematis, universal dan integral; (c) dalam melakukan kajian tentang fenomena tersebut untuk memperoleh pemahaman terdalam tentang hakikat dari segala sesuatu, harus mendasarkan pada orientasi paham atau aliran filosofis tertentu dan metode filsafat tertentu; (d) dalam melakukan kajian filsafat untuk memahami hakikat fenomena sesuatu secara mendalam, sebaiknya menggunakan pendekatan perpaduan antara aliran satu dengan aliran yang lain, atau menggunakan perpaduan metode filsafat, agar diperoleh pemahaman secara integral tentang hakikat sesuatu; dan (e) hakikat epistemologi filsafat tentu berbeda dengan hakikat epistemologi ilmu pengetahuan. Keempat, hakikat aksiologi filsafat adalah fungsi atau manfaat filsafat bagi kehidupan ummat manusia dalam proses kehidupan sehari-hari, untuk mencapai kualitas kehidupan dalam segala aspeknya. Berdasarkan banyak literatur filsafat, dapat dikelompokkan tentang fungsi atau kegunaan filsafat (aksiologi filsafat), menjadi dua antara lain: fungsi atau kegunaan secara umum; dan fungsi atau kegunaan secara khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit. 1987. Denken over geschiedenis. Een overzicht van moderne geschiedfilosofische opvattingen. Dick Hartoko (penerjemah). Refleksi tentang Sejarah. Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. 1987.PT. Gramdeia. Jakarta.
Bakker, A. 1984. Metode Metode Filsafat. Ghalia Indonesia. Jakarta
_____. 1992. Ontologi Metafisika Umum. Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan. Kanisius. Yogyakarta. .
Beerling. 1966. Filsafat Dewasa ini. Penterjemah Hasan Amin. PT. Balai Pustaka. Djakarta.
Beerling, dkk., 2003. Inleiding tot de Weteinschapsleer. Penerjemah, Soemargono. Pengantar Filsafat Ilmu. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Berry, D. 1981. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, Team LPPS (penerjemah) 1998. CV. Rajawali. Jakarta.
Drijarkara, N. 1977. Sebuah Bunga Rampai Dari Sudut Filsafat. Yayasan Kanisius. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar