"dari sakit jiwa sampai meregang nyawa"
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) memperkirakan ada 2 juta kasus aborsi terjadi setiap tahun di
Indonesia. Tindak aborsi, yakni
penghentian kehamilan, memang bisa menyelesaikan satu hal. Namun ada berderet
dampak mengerikan mengintai perempuan yang melakukan aborsi.
Menurut Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indone-sia
(POGI) dr. Nurdadi Saleh SpOG, aborsi menyebabkan kanker serviks atau kanker
leher rahim yang berasal dari infeksi kuman herpes, chlamydia, atau human
papillomavirus (HPV). Kanker serviks bisa pula dari luka dan infeksi di leher
rahim akibat peralatan aborsi. Selain itu, obat-obatan penggugur kandungan dan
tindak kuretase (pembersihan rahim) dapat membuat rahim tipis, bahkan sobek.” Rahim
yang sudah sobek harus diangkat seluruhnya, sehingga perempuan tidak mungkin
lagi mengandung.
Yang masih “tergolong ringan” akibat
aborsi adalah haid jadi tidak teratur karena lapisan endometrium (lapisan
terdalam rahim tempat menempelnya telur yang sudah dibuahi) rusak atau terluka
setelah tindakan aborsi. Lebih parah lagi kalau aborsi dilakukan secara tidak
steril. Infeksi kandungan akibatnya. Infeksi membuat saluran telur mengalami perlengketan,
sehingga sulit terjadi pembuahan (mandul). Aborsi juga meningkatkan risiko terkena
kanker payudara sampai 40 persen. Persentase itu akan meningkat jika aborsi
dilakukan berulang.
Bagaimana hubungan antara aborsi
dan kanker payudara? Saat hamil, komposisi hormon estrogen progesteron dalam
tubuh perempuan berubah dari masa sebelum hamil. Nah, jika kehamilan itu
mendadak dihentikan dengan aborsi, maka mendadak pula hormon berubah ke kondisi
sebelum hamil. Kekacauan hormonal tubuh ini menyuburkan pertumbuhan sel kanker.
Aborsi juga risikonya menyebabkan
kematian. Kematian mendadak terjadi karena pendarahan hebat dan pembiusan
yang gagal. Sudah banyak kasus penggrebekan klinik aborsi dengan korban
tewas. Tidak berhenti pada akibat fisik, perempuan yang aborsi juga mengalami
guncangan secara emosional. Menurut Inna Hudaya, salah satu pendiri Samsara,
organisasi konseling pendidikan seks sehat dan aborsi, perasaan bersalah selama
seumur hidup adalah yang paling sering menghantui perempuan setelah melakukan
tindakan aborsi. Ada pula gejala yang disebut postabortion syndrome (sindrom
pascaaborsi), yakni hilang penghargaan pada diri sendiri, histeris, mimpi buruk
tentang bayi, ingin bunuh diri, mencoba narkoba, tidak menikmati hubungan
seksual, insomnia, dan kelainan pola makan. Gangguan kejiwaan itu bisa
berkembang menjadi sakit jiwa yang berat.
“Karena itu konseling mutlak diperlukan kepada pasangan sebelum memutuskan
aborsi,” kata Inna.
Sumber: Majalah Detik, Edisi 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar