Senin, 24 September 2012

DAMPAK ABORSI



"dari sakit jiwa sampai meregang nyawa"
Badan  Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan ada 2 juta kasus aborsi terjadi setiap tahun di Indonesia. Tindak aborsi, yakni penghentian kehamilan, memang bisa menyelesaikan satu hal. Namun ada berderet dampak mengerikan mengintai perempuan yang melakukan aborsi.
Menurut  Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indone-sia (POGI) dr. Nurdadi Saleh SpOG, aborsi menyebabkan kanker serviks atau kanker leher rahim yang berasal dari infeksi kuman herpes, chlamydia, atau human papillomavirus (HPV). Kanker serviks bisa pula dari luka dan infeksi di leher rahim akibat peralatan aborsi. Selain itu, obat-obatan penggugur kandungan dan tindak kuretase (pembersihan rahim) dapat membuat rahim tipis, bahkan sobek.” Rahim yang sudah sobek harus diangkat seluruhnya, sehingga perempuan tidak mungkin lagi mengandung.
Yang masih “tergolong ringan” akibat aborsi adalah haid jadi tidak teratur karena lapisan endometrium (lapisan terdalam rahim tempat menempelnya telur yang sudah dibuahi) rusak atau terluka setelah tindakan aborsi. Lebih parah lagi kalau aborsi dilakukan secara tidak steril. Infeksi kandungan akibatnya. Infeksi membuat saluran telur mengalami perlengketan, sehingga sulit terjadi pembuahan (mandul). Aborsi juga meningkatkan risiko terkena kanker payudara sampai 40 persen. Persentase itu akan meningkat jika aborsi dilakukan berulang.
Bagaimana hubungan antara aborsi dan kanker payudara? Saat hamil, komposisi hormon estrogen progesteron dalam tubuh perempuan berubah dari masa sebelum hamil. Nah, jika kehamilan itu mendadak dihentikan dengan aborsi, maka mendadak pula hormon berubah ke kondisi sebelum hamil. Kekacauan hormonal tubuh ini menyuburkan pertumbuhan sel kanker.
Aborsi juga risikonya menyebabkan kematian. Kematian mendadak terjadi karena pendarahan hebat dan pembiusan yang gagal. Sudah banyak kasus penggrebekan klinik aborsi dengan korban tewas. Tidak berhenti pada akibat fisik, perempuan yang aborsi juga mengalami guncangan secara emosional. Menurut Inna Hudaya, salah satu pendiri Samsara, organisasi konseling pendidikan seks sehat dan aborsi, perasaan bersalah selama seumur hidup adalah yang paling sering menghantui perempuan setelah melakukan tindakan aborsi. Ada pula gejala yang disebut postabortion syndrome (sindrom pascaaborsi), yakni hilang penghargaan pada diri sendiri, histeris, mimpi buruk tentang bayi, ingin bunuh diri, mencoba narkoba, tidak menikmati hubungan seksual, insomnia, dan kelainan pola makan. Gangguan kejiwaan itu bisa berkembang menjadi sakit jiwa yang berat.
“Karena itu konseling mutlak diperlukan kepada pasangan sebelum memutuskan aborsi,” kata Inna.

Sumber: Majalah Detik, Edisi 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar