Minggu, 21 Oktober 2012

Pendidikan FIQIH


  1. Pengertian Fiqih
Definisi Fiqih yang dikemukakan oleh ustaz Abdul Hamid Hakim, dalam kitab Sulam, antara lain :

“Fiqih menurut bahasa : Faham, maka tabu aku akan perkataan engkau, artinya faham aku.”[1]

”Fiqih menurut istilah ketepatan ialah mengetahui hukum-hukum agama Islam dengan cara atau jalan ijtihad”.
Definisi lain dikemukakan oleh Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah, dalam kitabnya Taqrib

Fiqih ialah mengetahui hukum-hukum agama Islam yang digali dan diperoleh dari beberapa petunjuk yang terperinci.[2]
Menurut Daud Ali Fiqih adalah suatu pengetahuan yang memahami dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad.[3]
Berbeda dengan yang dikemukakan oleh Hasbi, bahwa Fiqhi yang adalah ilmu syari'at, maksudnya hukum-hukum agama Islam yang bertautan dengan masalah-masalah amaliyah, yang dikerjakan oleh para mukallaf sehari-hari.[4]
Dari beberapa definisi di atas menjadikan di Indonesia ada dua istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan hukum Islam, yakni (1) Syari'at Islam dan (2) Fiqih. Keduanya hampir sama dan sangat erat hubungannya, dapat dibedakan tetapi tidak mungkin dipisahkan. Karena syari'at adalah landasan fiqih dan fiqih adalah pemahaman tentang syari'at.[5] Syari'at itu sendiri adalah norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam, baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia dan benda dalam kehidupan. Hukum Fiqih secara tidak langsung menciptakan kebiasaan perilaku yang bernilai etika tinggi. Sebagai contoh, kebiasaan bersuci akan menjadikan sikap perilaku hidup yang bersih, aturan batasan aurat akan berpengaruh dalam kebiasaan berpakaian yang sopan, dan kewajiban mengeluarkan zakat memberikan tata aturan kehidupan sosial dan toleransi bermasyarakat.
Fiqih, sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan kongkret, mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin pula berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ini sesuai dengan asas yang disebut juga kaidah hukum Fiqih yang mengatakan bahwa perubahan tempat dan waktu menyebabkan perubahan hukum (Fiqih). Dari kaidah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum Fiqih cenderung relatif, tidak absolut seperti hukum syari'at yang menjadi norma dasar hukum Fiqih.
  1. Dasar pelaksanaan Fiqih
a.       Dasar Ideal pelaksanaan Fiqih
Dasar ideal pelaksanaan Fiqih adalah Pancasila. Pada butir pertama sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila, telah jelas disebutkan, ”Percaya dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang, adil dan beradab”.
Terkait dasar itu, Fiqih selain mengkaji masalah fiqih/hukum yang bersangkutan dengan aspek pengetahuan, juga mengajarkan aspek sikap, misalnya ketika mengajarkan shalat tidak semata-mata melihat aspek sah dan tidaknya salat yang dilakukan, tetapi juga perlu mengajarkan bagaimana memaknai setiap gerakan shalat yang di dalamnya terkandung ajaran perintah berperilaku sosial, kehidupan itu tidak abadi dan hanya ridha Allah-lah tujuan akhir dari segala bentuk ibadah. Sehingga peserta didik mampu bersikap sebagai seorang Muslim yang beramal ilmiah dan berilmu amaliah.
Untuk melaksanakan kegiatan tersebut perlu pendidikan formal tentang pendidikan agama khususnya materi Fiqih sebagai sumber penegakan syari'at Islam.
b.      Dasar Konstituslonal.
Yang menjadi dasar konstitusional pelaksanaan pendidikan Agama Islam khususnya Fiqih di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945, Bab X1 pasal. 29 ayat satu dan dua yang berbunyi, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-­masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya”.
Fiqih yang dilandasi oleh keimanan yang kuat, akan mendorong peserta didik untuk mengembangkan pemahaman dan keyakinan tentang adanya Allah Swt. sebagai sumber kehidupan. Selanjutnya adalah pengamalan yang mengkondisikan untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan Fiqih dalam kehidupan sehart-hari. Pelaksanaannya tentu dengan membiasakan melakukan tata cara ibadah, bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan materi pelajaran Fiqih yang dicontohkan oleh para ulama.
Untuk dapat melaksanakan agama dan kepercayaannya dengan baik dan benar itu, maka diperlukan pendidikan agama khususnya Fiqih yang menjadi aturan dalam syariat Agama Islam secara berkesinambungan, mulai dari sekolah tingkat dasar sampai pada perguruan tinggi.
c.       Dasar yuridis
Setelah lahirnya UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan Nasional yang menuntut kembali penyesuaian, yakni
pengembangan pada aspek life skill atau kecakapan hidup, maka
diperlukan kurikulum sekolah dan madrasah yang berbasis kompetensi
peserta didik. Kompetensi ini disusun dan dikembangkan sejak kelas I
sampai kelas IX yang menggambarkan suatu rangkaian kemampuan yang bertahap, berkelanjutan, dan konsisten seiring dengan perkembangan dan psikologis anak.[6]
Fiqih adalah salah satu bagian pendidikan Agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengamalkan hukum Islam yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan penggunaan, pengamalan dan pembiasaan. Oleh karma itu, materi Fiqih yang kompleks membutuhkan pembagian waktu untuk bisa diterapkan secara maksimal.
d.      Dasar Religius
Fiqih diartikan sebagai satu pemahaman, di mana mempelajarinya sangat dianjurkan oleh agama Islam. Islam sendiri menginginkan agar mendalami (tafaqquh) agama, bukan sekedar mempelajarinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. at ­Taubah () : 122
Terjemahnya:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.[7]

  1. Tujuan dan Fungsi Fiqih
a.       Tujuan
Fiqih di Madrasah Tsanawiyah bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat:
1)      Mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial.
2)      Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar. Pengamalan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.[8]
b.      Fungsi
Mata pelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiyah berfungsi untuk:
1)    Penanaman nilai-nilai dan kesadaran beribadah peserta didik kepada Allah Swt. Sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2)    Penanaman kebiasaan melaksanakan hukum Islam di kalangan peserta didik dengan ikhlas dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di madrasah dan masyarakat.
3)    Pembentukan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial di madrasah dan masyarakat.
4)    Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt serta akhlak mulia peserta.didik secara optimal mungkin, melanjutkan yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga.
5)    Pembangunan mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui ibadah muamalah.
6)    Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
7)    Pembekalan peserta didik untuk mendalami fiqih / hukum. Islam pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[9]
  1. Ruang Lingkup Fiqih
Ruang Lingkup Fiqih di Madrasah Tsanawiyah dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara:
a.       Hubungan manusia dengan Allah Swt
Hubungan manusia dengan Allah meliputi materi: Thaharah, Shalat, Zakat, Haji, Aqiqah, Shadaqah, Infak, Hadiah dan Wakaf.
b.      Hubungan manusia dengan sesama manusia
Bidang ini meliputi: Mu'amalah, Munakahat, penyelenggaraan jenazah dan Takziyah, Warisan, dan kependudukan.
c.       Hubungan manusia dengan alam dan lingkungan
Dibidang ini mencakup materi: Memelihara kelestarian alam dan lingkungan, Dampak kerusakan lingkungan alam terhadap kehidupan, Makanan dan Minuman yang dihalalkan dan diharamkan, Binatang sembelihan dan ketentuannya.
Ruang lingkup mata pelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiyah, juga dijelaskan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan terfokus pada aspek:
a.       Fiqih Ibadah
1)      Melakukan thaharah / bersuci.
2)      Melakukan shalat wajib.
3)      Melakukan shalat berjama’ah.
4)      Memahami shalat jama' dan qashar
5)      Memahami tata cara shalat darurat
6)      Melakukan shalat jenazah.
7)      Melakukan macam-macam shalat sunnah
8)      Melakukan macam-macam sujud.
9)      Melakukan dzikir dan do'a.
10)   Membelanjakan uang di luar zakat.
11)   Memahami ibadah haji dan umrah.
12)   Memahami hukum Islam tentang makanan dan minuman.
13)   Memahami ketentuan aqiqah dan qurban.
b.      Fiqih Muamalah
1)      Memahami macam-macam muamalah
2)      Memahami muamalah di luar jual beli
3)      Melaksanakan kewajiban terhadap orang sakit, jenazah dan ziarah kubur.
4)      Melakukan pergaulan remaja sesuai syariat Islam
c.       Fiqih Jinayah
1)   Memahami jinayat, hudud dan sanksinya
d.      Fiqih Siyasah
1)      Mematuhi undang-undang negara dan syariat Islam.
2)      Memahami kepemimpinan dalam Islam.
3)      Memelihara, mengolah lingkungan dan kesejahteraan sosial.[10]
  1. Pendekatan Pembelajaran Fiqih
Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran fiqih antara lain:
a.       Keimanan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk sejagad ini.
b.      Pengalaman memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugas dan masalah-masalah dalam kehidupan.
c.       Pembiasaan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku baik yang sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.
d.      Rasional, usaha memberikan peranan dan rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan berbagai bahan ajar dalam standar materi serta kaitannya dengan perilaku yang baik dan perilaku yang buruk dalam kehidupan duniawi.
e.       Emosional, upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
f.        Fungsional, menyajikan bentuk semua standar materi dari segi manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas.
g.      Keteladanan, menjadikan figur guru agama dan non-agama serta petugas sekolah lainnya maupun orang tua peserta didik, sebagai cermin manusia berkepribadian agama.[11]
Selain pendekatan di atas terdapat pendekatan yang sekarang lagi digalakkan dalam pembelajaran KBK yaitu pembelajaran kontekstual CTL (Contekxtual Teaching and Learning) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi pelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata yang dialami oleh siswa, serta mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya ada enam kunci dasar dari pembelajaran kontekstual, yaitu:
a.       Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam mempelajan isi materi pelajaran.
b.       Penerapan pengetahuan: kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan di masa sekarang dan mendatang.
c.       Berpikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan berpikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman dan pemecahan masalah.
d.       Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, propinsi, nasional dan perkembangan iptek dan dunia kerja.
e.       Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan dan kebiasaan siswa
Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian akan merefleksikan hasil belajar yang sesungghnya.[12]



[1] Abdul Hamid Hakim, as- Sulam, (Semarang: Toha Putra, 1996), Juz 2, h. 5.
[2] Syamsuddin Abu Abdillah, Fathul Qorib Al Mujib, (Semarang: Toha Putra, tt.), h. 3.
[3] Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 237.
[4] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 15.
[5] Mohammad Daud Ali, op.cit., h. 238
[6] Direktorat Kelembagaan Agama Islam, Standar Kompetensi Madrasah Tsanawiyah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), h. 150.

[7] Departemen Agama RI, al Qur’an al Karim dan Terjemahnya, (Semarang: PT.Karya Toha Putra, 2002), h.
[8] BSNP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikon Khusus Untuk Madrasah Tsanawiyah (MTs), (Jakarta: PT Binatama Raya, 2007), h. 141.

[9] Ibid., h. 142.
[10] Ibid., h. 143-144.
[11] Abdul Madjid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung, PT. Bina Citra Pesona Remaja Rosdakarya, 2004), h. 86.
[12] Ibid., h. 191-192.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar