A. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pengertian pendidikan Islam :
1. Menurut
Drs. Ahmad D. Marimba
Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani
dan rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran Islam.[1]
2. Menurut Drs. Burlian Samad
Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak
diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan
itu yaitu ajaran Allah, secara terperinci, beliau mengemukakan,
pendidikan itu disebut pendidikan Islam apabila
memiliki dua ciri khas yaitu :
a. Tujuannya membentuk individu menjadi
bercorak diri tertinggi menurut ukuran
al-Qur’an
b. Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam al-Qur’an yang pelaksanaannya di dalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang
dicontohkan oleh nabi Muhammad saw.[2]
3. Menurut Hasan Langgulung
Pendidikan
Islam ialah pendidikan yang
memiliki 4 macam fungsi yaitu :
a. Menyiapkan generasi muda untuk memegang
peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang.
b. Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan
dengan peranan tersebut dari generasi
tua ke generasi muda.
c. Memindahkan nilai yang bertujuan untuk memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat.
d. Mendidik anak agar beramal di dunia ini untuk
memetik hasilnya di akhirat.[3]
4. Menurut
Syeh Muhammad An-Naquib al-Attas pendidikan Islam ialah usaha yang
dilakukan pendidikan terhadap anak didik untuk pengalaman dan pengakuan tempat
yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga bimbingan
ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan.[4]
5. Menurut Musthafa Al-Ghulayaini
Pendidikan Islam adalah menanamkan ahklak
mulia di dalam jiwa anak dalam
masa pertumbuhannya dan menyiraminya
dengan air petunjuk dan nasihat sehingga
akhlak itu menjadi salah satu
kemampuan jiwanya, kemudian buahnya berwujud keutamaan,
kebaikan dan cinta bekerja untuk
memanfaatkan tanah air.[5]
6. Hasil seminar pendidikan Islam
se-Indonesia tanggal 7 sampai 11
Mei 1960 di Cipayung Bogor, pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah
mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya
semua ajaran Islam.[6]
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam ialah bimbingan
dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian.
B. Hakikat dan Sasaran Pendidikan Islam
1. Hakikat Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan Islam adalah usaha
orang dewasa muslim yang bertaqwa
secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan
serta perkembangan fitrah (kemampuan
dasar) anak didik melalui ajaran Islam
ke arah titik maksimal
pertumbuhan dan perkembangannya.[7]
Pendidikan secara teoritis mengandung
pengertian “memberikan” (avoiding)
kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar manusia
bila ingin diarahkan kepada pertumbuhan sesuai dengan ajaran Islam, maka harus berproses melalui sistem kependidikan Islam, baik melalui kelembagaan maupun melalui sistem kurikuler.[8]
Esensi
dari potensi dinamis dalam setiap
diri manusia itu terletak pada keimanan/keyakinan, ilmu pengetahuan,
akhlaq, (moralitas) dan pengalamannya.[9]
Oleh karena itu dalam strategi pendidikan Islam keempat potensi dinamis yang esensial tersebut menjadi titik pusat dari
lingkaran proses kependidikan Islam
sampai kepada tercapainya tujuan akhir pendidikan.
Yaitu manusia dewasa yang muttaqin.
2. Input proses dan produk
Bilamana pendidikan Islam diartikan
sebagai proses, maka diperlukan adanya sistem
dan sasaran atau tujuan yang
hendak dicapai dengan proses melalui
sistem tertentu karena proses
pendidikan tanpa sasaran dan tujuan yang jelas berarti suatu
“opurtunisme”, yang akan menghilangkan
nilai hakiki pendidikan. Oleh karena itu, proses yang demikian (yang tanpa tujuan) mengandung
makna yang bertentangan dengan pekerjaan mendidik itu sendiri, bahkan dapat
menafikan harkat dan martabat serta
nilai manusia sebagai “khalifah” Allah di muka bumi, karena aspek-aspek
kemampuan individual (al-fadiyah),
sosialitas (al-ijrimaiyyah), dan moralitas (al-ahlaqiyaah)
merupakan hakikat kemanusiaannya
(anthopologis pentra) dalam sistem
proses, terdapat umpan balik (feedback)
melalui evaluasi yang bertujuan memperbaiki
mutu produk.
Oleh karena itu, proses pendidikan Islam merupakan kemutlakan
dalam sasaran yang hendak digarap dan tujuan yang hendak
dicapai, yang dirumuskan secara
jelas dan akurat itulah yang mengarahkan proses kependidikan Islam ke arah pengembangan optimal
ketiga aspek kemampuan tersebut yang didasari dengan nilai
ajaran Islam. Sedang evaluasi
merupakan alat pengoreksi
kesalahan yang terjadi dalam proses
berakibat pada produk yang tidak
tepat. Proses mengandung pengertian
sebagai penerapan cara-cara atau sarana
untuk mencapai hasil yang diharapkan.[10]
3. Sasaran
Pendidikan Islam
Sejalan dengan misi agama Islam
yang bertujuan memberikan rahmat
bagi sekalian makhluk di alam ini, maka pendidikan Islam
mengidentifikasikan sasarannya yang digali
dari sumber ajaran al-Qur’an,
meliputi empat pengembangan fungsi
manusia yaitu :
a. Menyadarkan
manusia secara individu pada
posisi dan fungsinya di tengah makhluk lain,
secara tanggung jawab dalam hidupnya. Dengan kesadaran ini, manusia akan mampu
berperan sebagai makhluk
Allah yang paling utama di antara
makhluk lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai khalifah di muka bumi ini, bahkan malaikat pun
pernah bersujud kepadanya karena
manusia sedikit lebih tinggi kejadiannya dari malaikat yang hanya terdiri atas unsur
rohaniah, yaitu nur Ilahi. Manusia adalah
makhluk yang terdiri atas perpaduan unsur-unsur
rohani dan jasmani.[11]
Sedangkan beban tanggung jawabnya terhadap dirinya
dan masyarakat sebagai konsekwensi
kedudukannya dinyatakan oleh
Allah dalam QS. al-Isra (17): 15
Terjemahnya :
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan
hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.[12]
b. Menyadarkan
fungsi manusia dalam
hubungannya dengan masyarakat serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat itu. Oleh
karena itu, manusia harus mengadakan interelasi
dan interaksi dengan sesamanya
dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia adalah homo sosius (mahluk sosial).
Itulah sebabnya Islam mengajarkan tentang persamaan, persaudaraan,
kegotongroyongan dan musyawarah yang dapat membentuk masyarakat
itu menjadi suatu
persekutuan hidup yang utuh.[13]
Prinsip hidup bermasyarakat demikian dikehendaki oleh Allah dalam firmannya, QS. Al-Anbiya
(21) : 92.
|
Terjemahnya :
Sesungguhnya
ummatmu itu adalah umat yang satu
dan aku adalah Tuhan-mu maka sembahlah
aku.[14]
c. Menyadarkan
manusia terhadap pencipta alam
dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, manusia sebagai homo divinas (mahluk yang berketuhanan), sikap dan watak religiusnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menjiwai dan mewarnai
kehidupannya. Pada hakikatnya, dalam diri tiap manusia
telah diberi kemampuan untuk beragama dan kemampuan itu berada di dalam fitrahnya
secara alami. Oleh karena itu,
seorang sarjana barat C. G. Jung,
memandang kemampuan beragama sebagai naturaliter religiosa (naluri beragama).[15]
Firman Allah yang menyadarkan posisi
manusia sebagai hamba-Nya yang harus beribadat kepada-Nya. Firman Allah dalam QS. al-An’am
(6) : 102-103.
Terjemahnya :
(yang memiliki sifat-sifat) demikian itu adalah Allah
Tuhanmu ; tidak ada Tuhan selain dia, pencipta segala sesuatu maka sembahlah dia,
dan dia adalah pemelihara segala
sesuatu, dia tidak dapat dijangkau oleh
daya penglihatan mata, sedang dia
dapat melihat segala yang kelihatan, dan
dialah yang maha kuasa lagi maha
Mengetahui.[16]
d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan
menciptakan makhluk lain,
serta memberikan
kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya.[17]
Kesadaran demikian, menujukkan manusia sebagai
khalifah di atas bumi dan yang
terbaik di antara makhluk
lain, yang mendorong untuk melakukan pengelolaan, mengeksploitasikan serta mendayagunakan ciptaan Allah untuk kesejahteraan hidup bersama
dengan lainnya. Pada akhirnya,
kesejahteraan yang diperolehnya itu
digunakan sebagai saran untuk
mencapai kebahagiaan hidup di
akhirat.
Selain
itu, dalam kejadian alam ciptaan
Allah ini terkandung rahasia agar dapat diungkapkan, supaya
memberikan cakrawala ilmu pengetahuan yang benar serta hikmah yang tinggi bagi manusia.
Oleh karena itu, terserah kepada manusia sendiri, bagaimana cara mengungkapkan
rahasia tersebut. Sudah tentu faktor
akal budi (ratio), sangat
menentukan mampu atau tidaknya manusia menggali dan mengungkapkan rahasia
alam tersebut. Untuk itu faktor
kegiatan belajar dan mengajar
merupakan pangkal tolak dari kemampuan tersebut di atas.
Dalam hubungan
ini Allah telah menunjukkan dalam firmanya QS.
al-An’am (6) : 95.
Terjemahnya :
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir-butir tanaman dan biji buah-buahan. Dan mengeluarkan yang hidup
dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, (yang memiliki sifat-sifat demikian itu) ialah Allah, maka mengapa kamu masih juga berpaling
dari pada-Nya.[18]
Di dalam kejadian ini
terdapat sistem bekerja yang teratur yang dapat diimitasi oleh manusia dalam usaha “menciptakan” alat teknologi atau membuat sistem organisasi dan manajemen
dalam masyarakat. Inilah suatu
supra sistem dari Tuhan yang mengandung kebenaran
yang pasti dapat
membahagiakan hidup makluk-Nya.
[1] Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1980), h. 23-24.
[2] Drs. Burlian Somad, Beberapa Persoalan dalam Pendidikan Islam, (Bandung: PT.
Al-Ma’rif, 1981), h. 21.
[3] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1980). h. 22-23
[4] Syekh Muhammad An-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Jakarta: Mizan, 1984), h.
10
[5] Musthafa al-Ghulayaini, Idatun Nasihin, (1984),
h.189
[6] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1998), h. 11
[7] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, ( Jakarta:
Bumi Aksara, 1993), h. 32
[8] Uin Suska, Sejarah ringkas, lingkup, dan metode psikologi pendidikan, http://f-class article.blogspot.com/2009_03_01_archive.html
[9] Fadhil Al Djamaly, Attarbijjah al-Insan, Al-Djadied, h. 85.
[10] Roger A. Kaufman., Educational System
Planning, h. 2-3.
izin copas ya! terimakasih
BalasHapusizin copas gan , bagus ada referensinya
BalasHapusterima kasih kak atas ilmunya semoga dapat bermanfaat
BalasHapusperkenalkan kak saya Dewi Putri ISB Atmaluhur