Rabu, 10 Oktober 2012

Pengertian dan Hakikat Pendidikan Agama Islam



A.     Pengertian Pendidikan Agama Islam

Pengertian pendidikan  Islam :
1.      Menurut  Drs. Ahmad D. Marimba
Pendidikan  Islam yaitu bimbingan  jasmani  dan rohani berdasarkan  hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian  utama menurut  ukuran Islam.[1]
2.      Menurut Drs. Burlian Samad
            Pendidikan Islam  adalah pendidikan yang  bertujuan membentuk individu menjadi makhluk  yang bercorak  diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah  dan isi pendidikannya adalah mewujudkan  tujuan  itu yaitu ajaran Allah, secara terperinci, beliau mengemukakan, pendidikan itu disebut pendidikan Islam apabila  memiliki dua ciri khas yaitu  :
a.       Tujuannya membentuk individu menjadi bercorak  diri tertinggi menurut  ukuran  al-Qur’an
b.      Isi pendidikannya  adalah ajaran Allah yang tercantum  dengan lengkap  di dalam al-Qur’an  yang pelaksanaannya  di dalam praktek  hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh  nabi Muhammad saw.[2]
3.      Menurut Hasan  Langgulung
Pendidikan Islam ialah pendidikan   yang memiliki   4 macam fungsi yaitu :
a.       Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan  tertentu  dalam masyarakat pada masa  yang akan datang.
b.      Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan tersebut dari generasi  tua ke generasi muda.
c.       Memindahkan nilai yang bertujuan  untuk memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat.
d.      Mendidik anak agar beramal di dunia ini untuk memetik hasilnya di akhirat.[3]
4.      Menurut  Syeh Muhammad An-Naquib al-Attas pendidikan Islam ialah usaha yang dilakukan pendidikan terhadap anak didik untuk pengalaman dan pengakuan tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga bimbingan ke arah pengenalan  dan pengakuan  akan tempat Tuhan  yang tepat di dalam tatanan  wujud dan keberadaan.[4]
5.      Menurut Musthafa Al-Ghulayaini
Pendidikan Islam  adalah menanamkan  ahklak  mulia  di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya  dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat sehingga  akhlak itu menjadi salah satu  kemampuan  jiwanya,  kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan  dan cinta bekerja untuk memanfaatkan  tanah air.[5]
6.      Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia  tanggal 7 sampai 11 Mei  1960 di Cipayung  Bogor, pendidikan Islam  adalah bimbingan terhadap pertumbuhan  rohani dan jasmani  menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi  berlakunya  semua ajaran Islam.[6]
Dari uraian  tersebut dapat diambil kesimpulan  bahwa pendidikan Islam ialah bimbingan dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan  agar ia memiliki kepribadian.

 

B.     Hakikat dan Sasaran  Pendidikan Islam

1.      Hakikat Pendidikan  Islam
Hakikat pendidikan Islam  adalah usaha  orang dewasa  muslim yang bertaqwa secara sadar  mengarahkan  dan membimbing  pertumbuhan  serta perkembangan   fitrah (kemampuan dasar) anak didik  melalui ajaran  Islam  ke arah titik maksimal  pertumbuhan dan perkembangannya.[7]
Pendidikan secara teoritis  mengandung  pengertian “memberikan” (avoiding)  kepada jiwa  anak didik  sehingga mendapatkan  kepuasan rohaniah,  juga sering diartikan  dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar  manusia  bila ingin  diarahkan   kepada pertumbuhan   sesuai dengan ajaran Islam,  maka harus berproses  melalui sistem   kependidikan Islam, baik  melalui kelembagaan  maupun melalui  sistem kurikuler.[8]
Esensi  dari potensi  dinamis dalam setiap diri manusia  itu terletak  pada keimanan/keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlaq,  (moralitas) dan pengalamannya.[9]
Oleh karena itu dalam strategi   pendidikan Islam  keempat potensi  dinamis yang esensial  tersebut menjadi titik pusat dari lingkaran  proses kependidikan   Islam  sampai kepada tercapainya  tujuan akhir   pendidikan. Yaitu  manusia dewasa  yang muttaqin.
2.      Input proses dan produk
Bilamana pendidikan Islam diartikan sebagai proses, maka diperlukan adanya sistem  dan sasaran  atau tujuan yang hendak  dicapai dengan proses melalui sistem  tertentu karena  proses  pendidikan tanpa sasaran dan tujuan yang jelas berarti suatu “opurtunisme”, yang akan menghilangkan  nilai hakiki pendidikan. Oleh karena itu,  proses yang demikian  (yang tanpa tujuan)  mengandung   makna   yang bertentangan  dengan pekerjaan  mendidik itu sendiri, bahkan dapat menafikan  harkat dan martabat serta nilai  manusia sebagai “khalifah”  Allah di muka bumi, karena  aspek-aspek   kemampuan individual  (al-fadiyah), sosialitas (al-ijrimaiyyah), dan moralitas (al-ahlaqiyaah) merupakan hakikat kemanusiaannya  (anthopologis pentra) dalam sistem  proses,  terdapat umpan balik  (feedback)  melalui  evaluasi   yang bertujuan  memperbaiki  mutu  produk.
Oleh karena itu,  proses pendidikan Islam merupakan  kemutlakan  dalam sasaran yang hendak   digarap dan tujuan  yang hendak  dicapai, yang dirumuskan   secara jelas dan akurat itulah yang mengarahkan proses kependidikan Islam ke arah  pengembangan  optimal  ketiga aspek   kemampuan  tersebut yang didasari  dengan nilai   ajaran Islam. Sedang evaluasi   merupakan alat  pengoreksi kesalahan   yang terjadi   dalam proses  berakibat pada produk  yang tidak tepat. Proses mengandung  pengertian sebagai penerapan  cara-cara atau sarana untuk  mencapai hasil yang diharapkan.[10]
3.      Sasaran  Pendidikan Islam
Sejalan dengan misi  agama Islam  yang bertujuan memberikan  rahmat bagi  sekalian makhluk di alam ini,  maka pendidikan  Islam  mengidentifikasikan  sasarannya   yang digali  dari sumber ajaran  al-Qur’an, meliputi  empat pengembangan fungsi manusia yaitu :
a.       Menyadarkan  manusia  secara individu pada posisi dan fungsinya  di tengah  makhluk lain,  secara tanggung jawab dalam hidupnya. Dengan kesadaran ini, manusia  akan mampu  berperan sebagai makhluk  Allah  yang paling utama  di antara  makhluk   lainnya  sehingga mampu   berfungsi sebagai khalifah  di muka bumi ini, bahkan   malaikat pun  pernah bersujud  kepadanya karena manusia sedikit lebih tinggi  kejadiannya   dari malaikat yang hanya terdiri atas unsur rohaniah, yaitu nur Ilahi. Manusia adalah  makhluk  yang  terdiri atas perpaduan   unsur-unsur  rohani dan jasmani.[11]
Sedangkan beban tanggung jawabnya terhadap dirinya  dan masyarakat sebagai konsekwensi  kedudukannya  dinyatakan oleh Allah dalam QS. al-Isra (17): 15

Terjemahnya :
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.[12]

b.      Menyadarkan  fungsi manusia  dalam hubungannya  dengan masyarakat  serta tanggung jawabnya  terhadap ketertiban masyarakat itu. Oleh karena itu, manusia harus  mengadakan  interelasi  dan interaksi  dengan sesamanya dalam kehidupan  bermasyarakat. Manusia  adalah homo sosius (mahluk sosial). Itulah sebabnya Islam mengajarkan tentang persamaan, persaudaraan, kegotongroyongan dan musyawarah yang dapat membentuk   masyarakat  itu menjadi  suatu persekutuan  hidup yang utuh.[13] Prinsip  hidup bermasyarakat  demikian dikehendaki  oleh Allah dalam firmannya, QS. Al-Anbiya (21) : 92.


 

Terjemahnya  :
Sesungguhnya  ummatmu itu adalah umat  yang satu dan aku adalah Tuhan-mu maka sembahlah  aku.[14]

c.       Menyadarkan  manusia terhadap   pencipta alam dan mendorongnya  untuk beribadah  kepada-Nya. Oleh karena itu,  manusia sebagai homo  divinas (mahluk yang  berketuhanan), sikap   dan watak religiusnya  perlu dikembangkan sedemikian  rupa sehingga mampu menjiwai   dan mewarnai  kehidupannya. Pada hakikatnya, dalam diri  tiap manusia  telah diberi  kemampuan  untuk beragama   dan kemampuan itu   berada di dalam  fitrahnya  secara alami. Oleh karena itu,  seorang sarjana barat C. G.  Jung, memandang  kemampuan beragama   sebagai naturaliter  religiosa (naluri beragama).[15]
Firman Allah yang menyadarkan posisi manusia  sebagai hamba-Nya  yang harus beribadat  kepada-Nya. Firman Allah dalam QS. al-An’am (6) : 102-103.

Terjemahnya  :
(yang memiliki sifat-sifat) demikian itu  adalah Allah  Tuhanmu ; tidak ada Tuhan selain dia, pencipta segala sesuatu  maka sembahlah   dia,  dan dia adalah  pemelihara segala sesuatu, dia tidak dapat  dijangkau oleh daya penglihatan  mata, sedang dia dapat  melihat segala yang kelihatan, dan dialah  yang maha kuasa lagi maha Mengetahui.[16]

d.      Menyadarkan manusia tentang  kedudukannya terhadap makhluk  lain dan membawanya agar memahami   hikmah Tuhan  menciptakan   makhluk  lain,  serta memberikan   kemungkinan  kepada manusia   untuk mengambil  manfaatnya.[17]
Kesadaran demikian, menujukkan manusia  sebagai  khalifah  di atas bumi  dan yang  terbaik di antara  makhluk lain,  yang mendorong   untuk melakukan pengelolaan,  mengeksploitasikan serta  mendayagunakan   ciptaan Allah   untuk kesejahteraan  hidup bersama  dengan lainnya.  Pada akhirnya, kesejahteraan   yang diperolehnya itu digunakan sebagai  saran  untuk  mencapai kebahagiaan  hidup di akhirat.
Selain  itu, dalam kejadian  alam ciptaan Allah  ini terkandung  rahasia agar dapat diungkapkan, supaya memberikan  cakrawala ilmu  pengetahuan yang  benar serta hikmah yang tinggi bagi manusia. Oleh karena itu, terserah kepada manusia sendiri, bagaimana cara mengungkapkan rahasia tersebut. Sudah  tentu faktor akal budi (ratio),  sangat menentukan   mampu atau tidaknya   manusia menggali   dan mengungkapkan  rahasia  alam tersebut. Untuk itu  faktor kegiatan  belajar dan mengajar merupakan  pangkal tolak  dari kemampuan tersebut di atas.
Dalam hubungan  ini Allah  telah menunjukkan  dalam firmanya      QS.  al-An’am  (6) : 95.

Terjemahnya :
Sesungguhnya Allah   menumbuhkan butir-butir tanaman  dan biji buah-buahan. Dan mengeluarkan   yang hidup  dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari   yang hidup, (yang memiliki  sifat-sifat demikian itu) ialah Allah,  maka mengapa kamu masih juga   berpaling  dari pada-Nya.[18]

Di dalam kejadian  ini  terdapat  sistem bekerja   yang teratur yang  dapat diimitasi oleh manusia  dalam usaha “menciptakan” alat teknologi   atau membuat   sistem organisasi  dan manajemen  dalam masyarakat. Inilah  suatu supra sistem dari  Tuhan   yang mengandung   kebenaran  yang pasti  dapat membahagiakan  hidup makluk-Nya.



[1] Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam,  (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1980), h. 23-24.
[2] Drs. Burlian Somad, Beberapa Persoalan  dalam Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1981),  h. 21.
[3] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980).  h.  22-23
[4] Syekh Muhammad An-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan  dalam Islam, (Jakarta: Mizan, 1984), h. 10
[5] Musthafa al-Ghulayaini, Idatun Nasihin,  (1984),  h.189
[6] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 11
[7] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 32

[8] Uin Suska, Sejarah ringkas, lingkup, dan metode psikologi pendidikan, http://f-class article.blogspot.com/2009_03_01_archive.html

[9]  Fadhil Al Djamaly,  Attarbijjah  al-Insan, Al-Djadied, h.  85.
[10] Roger A. Kaufman.,  Educational  System  Planning, h.  2-3.



3 komentar:

  1. izin copas gan , bagus ada referensinya

    BalasHapus
  2. terima kasih kak atas ilmunya semoga dapat bermanfaat

    perkenalkan kak saya Dewi Putri ISB Atmaluhur

    BalasHapus